FestivalNews

Jazz Spiritual di 2nd Ramadhan Jazz Festival 2012

Setelah sekali penyelenggaraan dan punya waktu setahun untuk perbaikan, panggung 2nd Ramadhan Jazz Festival 2012 / 1433 H (RJF) adalah yang paling terlihat mewakili wajah segar festival unik yang baru mulai jika sudah tunai Tarawih ini (27-28/07/’12). Façade Masjid Cut Meutia sesekali dimunculkan pada layar raksasa proyeksi video yang diapit pilar dekoratif, mempertontonkan keindahan bangunan menjulang Bouwploeg (Boplo) yang beralih fungsi jadi masjid itu, dalam kombinasi visual dengan kesan bersahabat. Di pelatarannya, anak-anak muda berkerumun menyimak spiritualitas dari saluran kreatif bernama jazz. Dwiki Dharmawan mengungkapkan pendapatnya soal relevansi jazz dengan dakwah dengan mencoba berkaca pada sejarah jazz dan kaum yang tertindas untuk kemudian menariknya kepada bayangan simetris, bahwa manusia cenderung untuk tertindas oleh silaunya harta benda dunia.

Tentu saja tema pembebasan seperti sejarah jazz itu saat diterjemahkan Dwiki ke dalam musik tak lantas mulus direspon penonton yang lesehan di pelataran masjid. Pembukaan formasi Spiritual Jazz Dwiki berefek seperti tombol pause, ditekan sesaat untuk kemudian dimanfaatkan jendela sela itu sebagai waktu menyesuaikan diri, menyetel ulang penerimaan setelah sebelumnya Caniday dan Indonesian Youth Regeneration (IYR) memanaskan pentas secara interaktif, ramah di kuping. Nomer signatureThe Spirit of Peace” menampilkan secara khusus Saat “Borneo” Syah dalam gema pengalaman mistik yang tiba-tiba putar arah jadi up-tempo swing. “Rumput Bertasbih” milik Opick disisipkan di tengah pilihan kental ambience yang menyentuh aspek spiritual seperti halnya titian nada Arabik (maqam) menyentuh titik peka manusia. Dengan lirik, yang abstrak pun jadi lugas saat Iwan Abdie membawakannya.

Bicara lirik religius, medium pesan dakwah ini sangat mengakar dan cukup lekat dengan keseharian Ramadhan di tanah air. Tak afdal pentas RJF jika tak mengakrabi pula nomer-nomer populer di masyarakat ini. Jazz harusnya bisa unggul mengulang versi “Dengan Menyebut Nama Allah” tanpa jadi banal. Beben Jazz pun menganggap poin ini sebagai yang terpenting, “Dalam jazz jadilah diri sendiri.”

Kualitas personal itu lalu bersimpangan dengan dimensi lain di RJF, saat Albert Fakdawer (IYR) memilih “Ku Mohon” (dipopulerkan Sheila Majid) atau Jilly Likumahuwa dengan “Akhirnya” yang syair doanya ditujukan pada tuhan yang implisit, tak eksklusif, secara terbuka panggung ini adalah juga lintas iman dengan jalan masing-masing. Barry Likumahuwa pun ringan menginspirasi anak-anak muda yang menunggu para idolanya pada malam ke dua, “Gue bukan muslim tapi gue sayang sama lo semua.”

Sebagai pembeda, jazz tentu punya ruh kuat yang akan berikan alternatif atas pendekatan maqam Arabik, gambus atau warna padang pasir dari musik religi yang biasa kita dengar. Ajaibnya tanpa sepenggal lirik pun “Concierto de Aranjuez” jadi transendental melarutkan penonton lewat tangan pianis Ade Irawan yang berduet dengan gitaris Agam Hamzah. Di tengah lautan penonton yang berjubel di hari ke dua lebih dari dua kali jumlahnya tahun kemarin (diklaim sebagai 4000 orang), kita bisa kemudian yakin bahwa tangan-tangan dengan kharisma musikal itu adalah anugerah. Idang Rasjidi yang tampil berikutnya punya amunisi berbeda: katalog jazz religius (“Sound of Belief” dan “Sound of Hope“) dan spontanitas jam session. Selain saling berbalas scat dengan Tompi, ia membawa serta Yendri Belacan, putera daerah Bangka yang ditemukan bakatnya sebagai penyanyi yang biasa menghibur di pinggir jalan saat pesta perkawinan berlangsung. Ternyata Yendri yang punya liuk Melayu asli ini sudah tujuh bulan di Bogor untuk persiapkan album.

Bagi umumnya penonton, shalawatan dengan idiom jazz adalah pengalaman baru. Jalan pertama spiritualitas jazz yang tanpa lirik pun, misalnya lagi ketika Urban Phat pilih “The One“, adalah cara baru mengalami Islam.

Ide mengalami spiritualitas yang ditawarkan jazz lebih mudah sampai kepada orang banyak dalam suasana festival (hiburan). RJF 2012 pun bisa meriah mengenalkan figur musisi yang relatif tak populer berkat penarik keramaian seperti Endah N Rhesa yang mengampanyekan menikah secara halus, The Extra Large atau malah Payung Teduh yang agak grogi karena harus main di acara dengan embel-embel jazz.

(Baca juga: 2nd Ramadhan Jazz Festival Kembali Digelar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker