News

Jazz Aula Barat Episode 1: Mengembalikan Kejayaan Simbol Kampus di Dunia Musik Jazz

jazz-aula-barat-01

Para mahasiswa dan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) patut bangga akan salah satu ciri khas kampus mereka, yaitu gedung aula barat. Gedung yang dibangun pada tahun 1919 itu adalah tempat yang bukan hanya menjadi saksi sejarah dalam bidang pendidikan dan pergerakan mahasiswa, melainkan juga dalam bidang musik, terutama dari genre jazz. Pada tahun 1970-an pun gedung ini sempat menjadi salah satu pusat pergerakan musik jazz di Indonesia, didukung dengan diadakannya dua acara jazz bergengsi pada masa itu, yaitu Rendezvouz Indonesian All Star dan Pro Jazz 75.

Bukan hanya legenda-legenda seperti Bubi Chen, Jack Lesmana, Dolf Kornmann, Eddy Karamoy, Joop Tiahau, dan Benny Pablo, yang pernah tampil di gedung itu, melainkan juga salah satu peraih Grammy Award pada tahun 1980-an, Benny Golson, yang tampil dengan Benny Golson All Stars. Para penggemar karya-karya musisi jazz dari Eropa tentunya masih ingat bahwa Gedung Aula Barat ITB sempat menjadi saksi bisu kecintaan para musisi Jerman terhadap Indonesia. Mereka adalah Norbert Stein dan grup musik besutannya, Pata Masters, yang tampil 10 tahun yang lalu disana sebagai bagian dari proses pembuatan album Pata Java bersama Djaduk Ferianto dan para musisi Kua Etnika.

jazz-aula-barat-02

Semangat bermusik jazz yang melekat pada Gedung Aula Barat ITB dianggap mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu. Atmosfir dari kegiatan akademis yang diselenggarakan di gedung serbaguna itu terasa tidak seimbang dengan frekuensi kegiatan-kegiatan non-akademisnya, terutama terkait acara musik jazz. Tak disangka-sangka sekelompok anak muda penggiat musik jazz yang tergabung dalam ITBJazz, salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di ITB yang diresmikan pada tahun 2011, diam-diam telah memperhatikan perkembangan penggunaan Gedung Aula Barat ITB sejak masa-masa kejayaan musik jazz di tempat itu. Rasa cinta teradap musik jazz membawa mereka kepada sebuah mimpi besar untuk mengembalikan antusiasme dan semangat bermusik jazz ke Gedung Aula Barat ITB.

Setelah perencanaan yang memakan waktu berbulan-bulan, keingingan besar itu akhirnya terwujud dalam bentuk acara yang berjudul “Jazz Aula Barat Episode 1”. Pada 1 April 2013, acara yang diselenggarakan sebagai bentuk nyata dari inisiasi ITBJazz dan dua musisi jazz Indonesia yang juga adalah alumni ITB, Riza Arshad dan Imam Pras, itu diadakan dengan penampil tunggal, yaitu #3Scapes. Kelompok musik yang merupakan wadah eksplorasi musikal dari Riza Arshad (piano), Yance Manusama (bass), dan Aksan Sjuman (drum; menggantikan Arie Ayunir), itu tampil dalam format konser. Tiga anggota #3Scapes sendiri adalah musisi-musisi yang namanya sudah tidak asing bagi para penggiat jazz di Indonesia dan dunia; Riza Arshad adalah pianis, komposer, dan pimpinan kelompok musik jazz simakDialog; Yance Manusama adalah basis senior yang identik dengan warna musik funk; dan Aksan Sjuman adalah orkestrator dan pemain drum yang sering terlibat dalam penggarapan musik-musik latar.

Sekilas #3Scapes terdengar seperti membawakan lagu-lagu bergenre jazz kontemporer, terutama di dua lagu pertamanya, “The Three” dan “Minor Importance”. Namun, seiring dengan mulai banyak dilibatkannya elemen improvisasi yang dilakukan oleh masing-masing dari anggota trio tersebut, warna musik mereka semakin terasa mendekati jazz funk. Beberapa orang menyebut genre tersebut subtle funk, yang sebenarnya adalah warna dasar dari jenis musik #3Scapes. Walapun begitu, #3Scapes tetap banyak bereksperimen dalam berbagai kesempatan, sehingga para penonton di dalam Gedung Aula Barat ITB malam itu mendapatkan nuansa-nuansa musik yang bervariasi. Mereka seolah-olah diajak untuk kembali mengumpulkan aura-aura musik jazz yang telah lama hilang dari tempat itu.

Sebelum #3Scapes memainkan “Distant Folks” dan “Early Expectation”, Riza Arshad sebagai salah satu kurator acara Jazz Aula Barat beberapa kali bercerita tentang masa-masa kejayaan musik jazz di lingkungan ITB. Menurutnya, selain sebagai tempat dimana berbagai tokoh negara pernah berkunjung, Gedung Aula Barat ITB juga adalah tempat dimana musik jazz pertama kali mulai dikenal di kota Bandung. Ia juga berharap bahwa pertunjukan seperti Jazz Aula Barat akan selalu ada sebagai pendamping kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik dan sosial-budaya di ITB. “Saat saya masih menjadi mahasiswa, saya selalu bermimpi untuk bisa main di Aula Barat ITB. Sekarang rasanya senang sekali bisa bermain kembali di almamater saya sendiri,” ujar Riza, memotivasi para penggiat musik jazz kalangan muda yang berada di antara para penggiat jazz senior, kalangan akademisi ITB, dan alumni ITB malam itu.

Melalui lagu-lagu yang dibawakan, #3Scapes seolah-olah ingin mengatakan bahwa semangat bermusik jazz tidak akan pernah pudar lagi walaupun Jazz Aula Barat Episode 1 sampai di penghujung acara. Tak heran jika dua lagu terakhir, “Get Ready” dan “Playtime”, dibawakan dengan begitu semangat oleh trio tersebut. Di akhir acara pun sempat diumumkan bahwa Jazz Aula Barat direncanakan untuk hadir satu kali dalam 6 bulan di setiap tahunnya. Episode 1 dari Jazz Aula Barat ternyata telah dinilai cukup memberikan optimisme baru pada para penggiat jazz di ITB. Tentunya hal-hal seperti permasalahan akustik dan parameter-parameter lainnya terkait Gedung Aula Barat ITB juga perlu untuk diperhatikan jika ingin kembali menjadikannya sebagai pusat musik jazz di Bandung.

Sheyka Nugrahani

Seorang mahasiswi yang menganggap Al Jarreau dan Michael Franks adalah awal mula dari segala tentang dirinya dan musik jazz. Mulai menggeluti bidang jurnalisme sejak tahun 2008 dan mendalami hobi menulisnya di sela-sela kesibukan kuliahnya di jurusan Biologi dan profesi lainnya sebagai pelukis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker