The 6th Story: Narasi Baru simakDialog


“The 6th Story” istimewa dan jadi catatan penting bagi formasi terakhir simakDialog dengan merekam nomer-nomer yang belum pernah diikutkan rilis sebelumnya, pun seolah ditulis eksklusif untuk 6-piece band ini. Tahun 2013 menandai pula 20 tahun perjalanan musik Riza Arshad (Ija) dan Tohpati yang selalu betah pulang ke rumah indie yang sama ini. Menyusul keduanya pada setengah perjalanan adalah Adhitya Pratama dalam peran telaten ritme bas yang terekam sejak “Trance/Mission” (Ragadi Music, 2002). simakDialog kembali tampil di GoetheHaus Jakarta (17/05/’13) setelah sebelumnya sempat konser di GKJ saat albumnya belum diedarkan (21/12/’12).
Pasca dua album tanpa drum (“Patahan” dan “Demi Masa”) yang sekaligus punya versi internasional di bawah label MoonJune (2007 dan 2009), denyut ritme berbasis tetabuhan kendang kelompok kini berada di tangan Endang Ramdan, Erlan Suwardana, dan Cucu Kurnia. Bersama-sama, mereka adalah gambaran kompak 6 tangan yang beroperasi independen secara longgar di bawah satu kendali otak.
Kalau kita tertarik pada cerita mereka, bagian mapan dari narasi ke-6 ini adalah kendang Sunda dalam idiom natifnya, ajek sebagaimana live mereka beberapa tahun belakangan. Pada rekaman sebelumnya ada kendang Makassar yang dimainkan Emy Tata dan saat masih ada drum pada rekaman transisi dulu kendang Sunda yang ditabuh Jalu G. Pratidina sudah jadi bagiannya. Namun, kendang Sunda bisa jadi perkusi kontemporer dan dilepaskan dari pakem tradisinya (kendati inipun tetap bisa diterima sebagai perkembangan menggembirakan). Setidaknya selain Jalu, ada Ade Rudiana, Iwan Wiradz, dan Ron Reeves yang main kendang baik secara tradisi ataupun kawin-silang antara dua ekstrim. Ija juga positif terhadap antusiasme tadi, pada berbagai kesempatan ia mengungkapkan simakDialog bukan satu-satunya band yang memakai kendang, walaupun bukan juga melakukan sesuatu yang populer.
Nomer gres “What Would I Say” adalah contoh rampak kendang tradisi dengan setengah personil lainnya memainkan ide-ide jazz. Pada nomer ke dua album (yang dipilih juga sebagai repertoar ke dua konser) “Lain Parantina” malah ada kesan tradisional dari liuk melodi yang lazimnya memprovokasi ikut turun menari. Judul berbahasa Sunda yang berarti “bukan kegunaannya” alias “tidak pada tempatnya” itu menyusul pembuka “Stepping In” yang tipikal miliki gaya prog Ija. Kendang sebagai kendaraan ritme pun selalu terdengar rapat dan berposisi kontra seperti poliritmik. Nomer penutup konser “5, 6” (Five Six) pun menantang secara pola hitungan. Ija bercanda kepada host Denny Sakrie bahwa itu pelesetan dari 5/6, lalu secara serius mengoreksi candaan tadi bahwa masing-masing ada hitungan lima dan enam di situ. Tak lantas harus serumit itu menikmatinya, walaupun kalau ingin dicerna secara teoretis memang ada bagian-bagian itu.

Selain bawakan materi baru, nomer lama “Worthseeing” jadi etalase rampak kendang yang bersifat solo buat Endang-Erlan. Sementara Cucu Kurnia yang mainkan ceng-ceng pada “All in A Day” beroleh kesempatan tunjukan solo sulit ostinato, yakni dengan masing-masing tangan mainkan pola yang berbeda hitungan. Ia lebih sering memakai stik untuk aneka mainan logam di sekitarnya, ada kethuk, kecrek, maupun singing-bowl dan simbal yang bukan tradisional Sunda. Bicara peran kendang lagi, bukan tidak mungkin jika suatu saat ini adalah cara kita mengenali lagunya, bukan seperti biasanya dari alun melodi.