Talago Buni curi perhatian di Borneo World Music Expo 2013

Setelah sukses menggelar Rainforest World Music Festival (RWMF) hingga ke edisi 16, tahun 2013 ini, Sarawak Tourism Board kembali menelurkan sebuah inisiatif yang mereka sebut sebagai ‘the business-tourism sector’ karena RWMF memang lebih ditujukan untuk mendatangkan para wisatawan ke Kuching, Sarawak.
Seperti yang diungkapkan oleh CEO STB, Dato Rashid Khan dihadapan para jurnalis yang hadir dalam kegiatan yang digelar di Hotel Pullman Kuching, sejak Senin hingga Rabu 24-26 Juni 2013. Kegiatan RWMF juga dimaksudkan untuk meneguhkan posisi Sarawak sebagai destinasi bagi kegiatan senin, budaya dan musik.
Untuk mendukung hal tersebut, STB bahkan meng-hire Gerald Seligman, yang hingga November 2009 merupakan General Director of WOMEX,sebuah kegiatan world music Expo berbasis di Berlin, Jerman yang telah memilih dan mengundang para pembuat festival dari berbagai dunia untuk hadir di Kuching.
Sonya Mazumdar, Founder/CEO of EarthSync, sebuah PH yang memfokuskan diri pada world music berasal dari India mengatakan, “Kekayaan musik Asia sudah seharusnya lebih banyak ditampilkan dalam sajian world music. Sebuah usaha diperlukan untuk menciptakan kendaraaan kolaborasi yang dapat digunakan sebagai cara untuk menampilkan lebih banyak karya kontemporer dan tradisional”.
Sejumlah delegasi negara baik dari Asia maupun Eropa, Australia hingga Amerika Serikat ikut andil dalam kegiatan ini. Diantaranya ada Tong Tong Festival di Belanda, Jordan Jazz Festival, Ethno Jazz Festival di Polandia maupun institusi lain seperti House of Culture di Berlin Jerman.
Sejumlah performers turut ambil bagian dalam Showcase yang mengiringi kegiatan selama 2 malam berturut-turut, dengan kegiatan seminar atau diskusi panel dengan sejumlah topik menarik seperti bagaimana caranya melakukan tour internasional maupun tour didalam negeri sendiri, mempersiapkan press-kit untuk berbagai kepentingan, hingga persoalan paling krusial, bagaimana caranya mendapatkan pendanaan bagi kelompok yang ingin tampil di forum internasional.
***
Talago Buni dari Padang merupakan salah satu kelompok yang berhasil mencuri perhatian para direktur festival atau programmer yang diundang dalam kegiatan BWME ini. Kelompok yang terdiri dari Edy Utama (leader/manager), Asril Muchtar (assistant), M. Haling Lenggang (komposer), Susandra Jaya Emri, Febrianti (vokal), Syafni Erianto, Leva KHudri Balti dan Shofwan menyajikan kurang lebih lima komposisi.
Komposisi tersebut adalah Bakutiko, Pupuik Lambok, Sijobang, SIkudarang dan Sirompak. Mereka mengembangkan komposisi dari sebuah proses eksplorasi melodi dan ritme berbasis reportoire dari tradisi musik di Minangkabau.
Dalam komposisi Bakutiko misalnya, mereka memfokuskan diri pada instrumen Saluang, yang berbentuk seperti flute. Dengan vokal dan tambahan Bansi flute dan perkusi seperti taleompok, tamborin dan jembe. Pada kesempatan lain, mereka menggunakan flute, indang (vokal) dan ditambahkan dengan gandang jin (drum yang besar), jembe, canang dan aguang (gong kecil) yang ditambahkan dengan kecapi. Mereka pun menggunakan berbagai scale didalam mengolah karya mereka.
Edy Utama dalam penjelasannya merasa gembira bahwa ternyata upaya mereka tidak sia-sia. Sejumlah tawaran datang dari beberapa negara, sebut saja Belanda, Finlandia dan Swedia. Sehingga kenyataan ini membuat legitimasi bahwa kegiatan Borneo World Music Expo memang memberikan impact kepada kelompok seni dari Asia Tenggara khususnya Padang, bisa berbicara dalam forum internasional di masa mendatang.
Satu hal yang menarik, bahwa kelompok yang telah didirikan sejak tahun 1998 ini justru memulai debutnya dari Jerman dengan merilis album pada tahun 1999. Sebuah konser di Tanzund Folkfest di Rudolstadt digelar dan disusul sebuah rilisan album berttel Klange der Nacht – Sounds of the Night.
Hingga saat ini Talago Buni telah tampil di sejumlah festival antara lain Bali World Music Festival (2002), Solo International EThnic Music Festival (2007) Saahlunto International Music Festival (2010).
***
Sejumlah performer lain yang juga menarik perhatian antara lain Palsandae (Korea Selatan), Sandip Chatterjee (India), Rhythm in Bronze dan Akasha (Malaysia).
Rhythm in Bronze menyajikan “Lagu Untuk Teman Lama” sebuah lagu yang berasal dari Bali dikomposisi oleh Gareth Farr untuk menggambarkan bagaiman ribut dan keos-nya mereka dalam latihan. Kelompok yang didirikan sejak tahun 1997 ini menggunakan set gamelan Tejasuara yang dibuat di Solo menggunakan laras pentatonis slendro. Sejumlah musisi pernah bekerjasama dengan Rhythm in Bronze, seperti Kevin Field dari Malaysian Philharmonic Orchestra, Adrian Lee dari UK, Roland Peelman dari Australia, I Wayan Rajeg dan Ben Pasaribu dari Indonesia.
Song Lee dari kelompok Palsandae (Korea Selatan) menjelaskan bahwa mereka menyajikan musik dan tarian yang merupakan ritual sejak jaman dahulu kala. Konsepnya adalah menyatukan antara “Spirits” dengan kehidupan sehari-hari para petani. Mereka menggunakan kostum putih-putih dengan selempang berwarna merah dan topi yang dihiasi pita panjang yang dapat digerakkan berputar-putar. Para prinsipnya, mereka berimprovisasi dengan musik dan kerap kali, komposisi atau karya yang dihadirkan bersifat dinamis dan baru diciptakan sepuluh menit sebelum konser dimulai.
Pada bagian lain Sandip Chatterjee memukau peserta BWME karena menyajikan instrumen kuno yang secara relatif justru tidak terlalu dikenal di negeri asalnya, India. Duet santoor dan Tabla (Prabhu Edouard) merupakan salah satu highlight expo.