
Modernisasi Thailand untuk berpaling dari monarkhi penuh ternyata mengalihkan pula perhatian mereka dari musik tradisionalnya. Amporn Chakkaphak dari Pisces Music yang biasa mempromosikan artis internasional tak menyangka harus mengemban lagi misi yang didorong orang-orang di sekitarnya, yaitu menghidupkan kembali generasi ke dua band Boy Thai. Apa yang dituturkannya pada konferensi pers jelang naik pentas betul-betul dibuktikan anak-anak muda Boy Thai yang merebut hati penonton malam terakhir (05/10/’13) Asia Music Festival 2013 (AMF 2013). Walaupun diawaki musisi belia, band ini matang memahami tata suara panggung dan bermain setimbang. Tepati janjinya pula, “Chameleon” Herbie Hancock dan “My Little Suede Shoes” Charlie Parker dieksekusi mulus dalam aransemen fusion jazz bermotif instrumen tradisional.

Memang setidaknya ada dua pilihan ekstrim saat menghadirkan instrumen tradisional ke format band modern, buat sesuatu yang murni baru (kontemporer) atau alat tradisi yang ikut format modern. Boy Thai lebih dekati yang terakhir. Pada prakteknya mayoritas khalayak yang memperoleh selera musiknya dari apa yang disodorkan industri selalu mendapat pintu masuk ke apreasiasi musik yang lain berkat cara-cara seperti ini. Ketika ranat, xylophone kayu berkonstruksi biduk, yang dimainkan kilat dua mallet Paron Yuenyong dapat kesempatan solo sebelum band dibawa meniti fusion berwarna blues atau Brazilian, saat itulah ketertarikan telah diciptakan. Namun, harus diakui bahwa porsi saksofon sopran dan alto Saranyu Suwannasoonthon mendominasi showmanship Boy Thai yang kendati punya kendala bahasa, bisa interaktif, akrab dengan penonton yang umumnya warga Malaysia dan Brunei, lewat trik semisal bermain di tengah penonton, turun dari panggung.

Penampil selanjutnya ternyata tak kendur dari klimaks dengan mengambil jalan alternatif, brekabeat drum ‘n’ bass yang membalut ensambel musik trans dari Tamil. Anthony Daasan, walaupun terdengar seperti pelantun qawwali, punya motif yang berbeda dengan silabel-silabel perkusif yang muncul dari kata-kata liriknya. Minus thappu (drum tradisionalnya), motif folk yang mirip kita dapati pada penyanyi Rafly dari Aceh.

AMF pertama yang mencampur aneka musik tak lengkap tanpa menu dangdut. Girlband Indonesia, Foxy Girls, mengambil jam penutup dengan menawarkan di antaranya modifikasi dangdut. Sayangnya grup ini termasuk salah satu penampil yang tidak membawa live band.