Nicole Johänntgen, saksofonis kelahiran Jerman itu datang ke Indonesia. Ia menjadi bintang tamu dalam gelaran Jazz Gunung 2014. Kehadirannya menjadi bagian menarik untuk digali, dengan melihat kelihaiannya meniup saksofon dan bagaimana reaksinya terhadap musik lokal. WartaJazz berkesempatan berbincang dengan musisi asal Jerman yang kini tinggal di Swiss tersebut.
WartaJazz (WJ): Bagaimana kamu mendefinisikan jazz?
Nicole Johänntgen (NJ): The answer is simple: jazz is freedom in music.
WJ: Sebagai seorang saksofonis wanita di tengah dominasi pria, seperti apa rasanya? Bagaimana pengalamanmu bermain di sebuah band?
NJ: Aku tumbuh seperti ini. Aku punya pengalaman bermain bersama band ayahku yang seluruh anggotanya adalah pria. Tidak ada perubahan. Sekarang, aku sedang memulai sebuah proyek di Swiss. Proyek tersebut merupakan usaha yang menggerakkan musisi-musisi jazz muda. Mereka bersama-sama terlibat dalam berbagai workshop dan aku mendukungnya. Kebanyakan aku bermain bersama band pria, tak ada masalah bagiku.
WJ: Bagaiamana kamu melihat dunia jazz saat ini?
NJ: Jazz sangat kaya, berbagai aliran ada dan kadang tak mudah bagi seorang musisi untuk bertahan hanya dengan satu band. Aku sendiri memiliki dua band, satu di Swis dan lainnya di Perancis. Aku rasa, semakin seorang musisi aktif, baik itu dalam band maupun sebagai solis, semakin ia mudah mewujudkan mimpi. Aliran-aliran jazz yang aku maksud adalah groovy jazz, sophisticated jazz, fusion dan modern jazz, namun di Jerman tidaklah mudah menemukan panggung untuk fusion. Jika di Indonesia fusion jazz sangat popular, tidak demikian di Jerman dan Eropa.
WJ: Siapa saja influens terbesar dalam musik?
NJ: Selalu berbeda dan berubah-ubah seiring waktu, namun untuk sekarang ini Cannonball Adderley yang juga memainkan saksofon sopran sepertiku. Namun aku juga terpengaruh oleh John Coltrane.
WJ: Bisa diceritakan pengalaman bermain dengan Djaduk (Ferianto) dan kawan-kawan?
NJ: It’s like being in a family! Mengagumkan, bahwa kita terpaut jarak ribuan kilometer antara Swiss dan Indonesia. Aku berasal dari Jerman namun sekarang aku tinggal di Swiss. Akan tetapi, soul-nya sama, bahasa kami sama, yaitu musik. Musik itu internasional. (Ari Kurniawati/WartaJazz)