Udara sejuk Ubud memang kerap menjadi inspirasi. Buat anda yang belum pernah menjejakkan kaki kemari maka kira-kira beginilah gambarannya. Sepanjang jalan-jalan utama, kita akan menemukan banyak sekali penginapan berbentuk resort dengan warung makan berkelas lokal hingga sajian internasional dimenunya.
Denyut nadi kehidupan masyarakat Ubud tidak bisa dilepaskan dari kesenian, banyak galeri seni, serta arena pertunjukan musik dan tari yang digelar setiap malam secara bergantian di segala penjuru desa. Lokasi tempat-tempat ini terletak di antara sawah dan hutan yang terletak di antara jurang-jurang gunung yang indah. Ubud tersohor di antara para wisatawan mancanegara sehingga seorang kawan berujar, lebih banyak bule di jalanan ketimbang turis lokal.
Sejumlah hal diatas pantas menjadikan Ubud sebagai pilihan digelarnya sebuah hajatan musik bernama BRI Touch Ubud Village Jazz Festival 2014 yang tahun ini telah memasuki usia penyelenggaraan yang kedua.
***
Hari pertama pertunjukan pada Jumat, 8 Agustus 2014 dibuka lewat penampilan Underground Jazz Movement di dua pangung yaitu Padi dan Subak. Padi bermakna biji kehidupan bagi masyarakat Bali. Sementara Subak adalah sistem penjaga ketahanan pangan yang memberikan ruangan untuk saling menghargai, bergotong-royong bagi pelaku didalamnya.
UJM merupakan kegiatan komunitas yang dikomandani Yuri Mahatma gitaris jazz yang juga menggagas Ubud Village Jazz Festival – bersama Anom Darsana.
Ade Surya (piano), Seto Aji & Isa Hanjaya (gitar), Fendi (upright bass) dan Wisnu (drums) menghantarkan pembukaan lewat nomor “Just Friends”, “When you wish upon a star” dan “In a mellow Tone”. Kelompok yang digagas dari pertemuan di sesi komunitas ini telah berinteraksi setidaknya satu setengah tahun.
Balawan BID, Trio yang terdiri dari I Wayan Balawan (gitar), Ito Kurdhi (bass) dan Deva Permana (drums) selanjutnya mengisi panggung utama Giri yang berposisi ditengah-tengah antara kedua panggung Subak dan Padi. Giri bermakna gunung, hutan, dan puncak – memberi kita rasa bahwa manusia sangatlah kecil dibanding puncak gunung
Kelompok trio ‘nyeleneh’ ini sebenarnya tercipta dari sebuah gawe Balawan dan Ito yang mengajak Deva yang tengah liburan di Bali untuk rekaman namun tanpa persiapan musik yang sudah ditulis. Balawan menyebut koneksi mereka hanya lewat tatapan mata saja, sambil setengah bercanda diatas panggung.
Seperti pernah kami review karya mereka yang termaktub dalam album “Lost in Bali“, BID – demikian mereka mengidentifikasi trio ini – ada beberapa judul komposisi terlihat begitu panjang dan seperti dibuat “asal-asalan” sekadar untuk menandai perbedaan antar trek satu dengan yang lain. Sah-sah saja. Inilah guyonan yang jarang kita temui di album-album musik pada umumnya.
Hasil candaan ini nampak pula dalam karya Devo kelono, Mengamen di Pura, Numpak Prau Nang tengah laut sanur mugo-mugo slamet dan Free Wifi Funk. Bahkan Balawan sempat berujar, “We playing again after 18 Years but not so Much Improvement” – sebuah track yang juga terdapat dalam album mereka – yang mengisahkan pertemuan kembali Balawan dan Deva di Bali. Berdasarkan catatan kami, Balawan memang pernah tinggal di Australia, negara dimana Deva Permana sekarang bermukim.
Balawan, gitaris yang dikenal dengan touch tapping menjelaskan bahwa BID memang berbeda konsep dibandingkan dengan Batuan Ethnic Fusion atau Gamelan Maestro Project yang kerap ditampilkannya diberbagai tempat. Menurut kami, BID merupakan khasanah baru yang segar jika kita membandingkan dengan penampilan dan karya para musisi Jazz di Indonesia lainnya.
Penampil berikutnya adalah Endo Seiji, pianis asal Jepang yang tampil secara solo. Penampilannya yang rapih dan cenderung kalem ini memberi kesan meditatif yang cocok untuk suasana sore Ubud Village Jazz Festival. Terlebih panitia menyediakan sejumlah alas duduk yang dapat dipakai berbaring lengkap dengan bantal berbahan dasar tikar.
Sedikit tentang Endo, ia belajar piano klasik sejak berusia empat tahun dan terpengaruh dari ayahnya yang juga seorang musisi. Sejak lulus dari Tamagawa University, ia tampil diberbagai tempat. Ia juga telah merilis sejumlah album antara lain My Mind dan Angel Eyes.
Berbarengan dengan penampilan Endo Seiji, di panggung Subak tampil pula Bali Ska Jazz Syndicate yang terdiri dari Badud Widjanarko (bass), Gatot Yudiantoro (guitar), Elliott Smith (drums), Peter Bazylak (trombone), Anders Hejlm (trumpet), Martin Lindsey-Clark (saxophone) dan Martin Denev (keyboard) yang membawakan “I Got A Woman”.
Beranjak ke panggung Giri dan bertemu Alexandre Cunha, drummer yang mengajak kita terbang ke Brasil. Ditemani sicantik Ana Paula Moreti (vokal), Bruno Coppini (bass), Eduardo Gallian (guitar), Ricardo Cren (keys), dan Marcelo Valezi (woodwind & perkusi). Penampilannya merupakan yang perdana di Indonesia, setelah sebelumnya sempat melakukan tour Asia tahun 2011 dan mampir ke sejumlah festival antara lain Beishan International jazz Festival (Zhuhai China), Oft Loft International Jazz Festival (Shentzen China), Hong kong International Jazz Festival dan Jarasum Jazz Festival (Korea). Tampak jelas dari penampilannya Alexandre mampu menyajikan berbagai macam rhythm yang berbeda dan penuh harmoni – yang mengingatkan kami pada gitaris Toninho Horta yang pernah pula tampil di Ubud beberapa tahun silam.
Dipanggung yang sama setelahnya ada Ben Van Den Dungen, saxophonis asal Belanda yang baru kali pertama tampil di Indonesia ditemani Martijn van Iterson (gitar), Miguel Rodriguez (piano) dan Frans van Geest (bass).
Ben merupakan seorang guru. Ia pernah menjabat sebagai Artistic Director dari Jazz Academy of the Conservatorium of Rotterdam sejak 2004 hingga 2008. Semenjak tahun 2012 ia menjadi artistic director dari The International Alternative Musicschool in Seoul (Korea). Barangkali atas alasan ini pulalah panitia mendapuknya sebagai pengajar di program Bali Summer Jazz School yang untuk kali pertama di gelar tahun ini empat hari sebelum Ubud Village Jazz Festival di gelar.
Di panggung Padi, pianis Astrid Sulaiman tampil mengiringi penyanyi Deborah Carter, wanita yang lahir di Amerika Serikat namun besar di Hawaii dan Jepang dan kini bermukim di Amsterdam Belanda. Turut bersama mereka bassis Hilmy Agustrian dan drummer Pierre Giorgio.
Dalam penampilannya Deborah yang juga turut mengajar di Bali Summer Jazz School mengajak penonton untuk ngejazz pada sebuah nomor rock-n-roll dari tahun 1957 milik Fats Domino yang bercerita tentang mobilnya yang mogok lewat “I’m Walkin”.
Baca Menikmati Ubud Village Jazz Festival 2014 (bagian kedua)