News

Percakapan Musik dan Kebisingan Motor ala Jay Afrisando

Jay Afrisando “Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona Ndona” (Photo : Michael H.B. Raditya)
Jay Afrisando “Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona Ndona” (Photo : Michael H.B. Raditya)

Kerap kita dengar suara bising yang diproduksi kendaraan bermotor setiap harinya. Bahkan lambat laun suara bising kendaraan dapat dimaklumi dan diterima di telinga masyarakat. Namun acapkali kita menghindar ketika terdapat rombongan konvoi dengan suara knalpot yang berpola melintas. Pelbagai kebisingan telah kita dengarkan, ada yang dapat dimaklumi, dan ada yang tidak dapat ditolerir. Lewat sebuah orkestra (27/1) bertajuk “Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona Ndona” di PKKH UGM, Jay Afrisando mengajak para penonton untuk menilik kembali keterkaitan antara suara kebisingan motor, kepekaan telinga, dan alunan musik.

Berasal dari arahan empat orang dirigen yang memberikan arahan kepada empat baris penonton, suara kendaraan ditata. Suara klakson terdengar berpola mengikuti arahan seorang dirigen, di sisi yang lain suara ‘bleyeran’ motor terdengar kencang, memekakkan telinga. Sesekali terdengar beriringan, sesekali terdengar bergantian.

Dengan sebuah aplikasi, penonton khusyuk mengikuti arahan untuk menyentuh salah satu dari empat pilihan suara motor yang berbeda: suara klakson; suara motor dalam keadaan diam; suara ‘bleyeran’; dan kombinasi suara klakson dan ‘bleyeran’. Kerap kali berbagai pola suara kendaraan turut membuat sebuah alunan, namun tidak jarang ketika telah menemui keasikan bunyi, Jay menghentikan suara secara serentak layaknya orkestra.

Pada sesi selanjutnya, penonton diminta untuk tidak mengoperasikan aplikasi suara kendaraan. Sebagai respon dari rangkaian bunyi kendaraan sebelumnya, tiga dari empat dirigen memainkan beberapa alat musik: keyboard, cello, drum, dan seorang lainya menempati posisi vokal. Walau terkesan layaknya improvisasi, namun Jay tetap mengatur pola dan tempo permainan musik di sesi tersebut.

Alih-alih memisahkan kedua jenis suara, di sesi selanjutnya Jay mempertemukan suara alunan musik dan kebisingan motor. Jay menggiring kedua jenis bunyi layaknya sedang melakukan percakapan, bersautan, saling merespon, bahkan tumpang tindih. Suara alunan musikal dari keyboard disisipi suara klakson dan ‘bleyeran’ motor. Terkadang terasa gaduh, namun terkadang terasa cukup harmonis.

 

Orkestra Partisipatoris

            Berawal dari karya video Jay di Jogja Artweeks 2015 yang merespon para pengendara kendaraan bermotor ketika lampu merah dengan saxofon dan terompet, Jay melanjutkan eksplorasi ruang dan suara ke fase yang lebih dalam. Adalah karya partisipatoris menjadi upaya Jay dalam mewujudkan pertemuan kedua jenis suara dalam bingkai orkestra. Berbeda dengan karyanya di tahun lalu, kini Jay mengajak penonton untuk terlibat secara langsung di dalam orkestranya.

Dengan bermodalkan aplikasi khusus, semua penonton menjadi pemain aktif di dalam orkestra ‘kebisingan’ yang ia rangkai. Dalam hal ini, langkah Jay melibatkan penonton dapat dianggap langkah jitu. Karya partisipatoris memang mempunyai daya tarik tersendiri sebagai sebuah pertunjukan. Alih-alih penonton hanya bergeming, dengan metode ini keterlibatan penonton menjadi penunjang utama terlaksananya pertunjukan.

Perbedaan latarbelakang, baik secara kultural, maupun sosial penonton pun tidak menjadi masalah berarti ketika orkestra berlangsung. Berasal dari pengalaman auditif keseharian yang dialami masyarakat di jalan raya, karya partisipatoris ini menjadi semakin dalam dan berarti bagi penonton. Terlihat dari para penonton yang tampak antusias dalam merespon aba-aba dan arahan dari dirigen ketika bunyi kendaraan dimainkan, dan dipertemukan dengan alunan musik ‘sungguhan’.

Bertolak dari lanskap pertunjukan musik di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pertunjukan yang mengusung tema keseharian –khususnya praktek yang terjadi di jalan raya– belum menjadi perhatian utama para musisi dalam proses penciptaan. Kedekatan tema dengan latarbelakang penonton pun turut menentukan keberhasilan sebuah pertunjukan. Alhasil esensi dan pesan akan sebuah pertunjukan ‘yang dekat dengan masyarakat’ dapat lebih mudah tersampaikan.

Namun, keberhasilan Jay dalam mentransmisi pesan di dalam pertunjukan, turut diimbangi dengan proses pembuatan yang tidak sebentar. Setidaknya Jay membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan, baik dari proses pematangan konsep, hingga membuahkan pelaksanaan yang komunikatif. Tidak hanya itu, Jay turut mempertemukan berbagai macam kolaborator dalam karya seni terbarunya, yakni: musisi, perekam audio, programmer aplikasi, dan penonton, untuk membentuk sebuah pertunjukan yang menarik.

Kematangan konsep dari pertunjukan ini pun turut terbukti dari beberapa solusi yang ditawarkan langsung oleh Jay di kala sesi berganti. “Solusi pertama, mengurangi kebisingan dari diri sendiri. Solusi kedua adalah jika kebisingan tidak dapat dihindarkan, maka bercakap-cakaplah dengan kebisingan. Solusi terakhir, yang ditawarkan dalam menghadapi kebisingan adalah mengistirahakan telinga. Ketika kita mengistirahatkan telinga, maka kita dapat lebih peka dengan ruang suara sekitar”, pungkas Jay.

Berlandaskan kesadaran Jay atas berbagai macam suara kebisingan, baik yang dapat diterima, dan sebaliknya, ia telah mengeksplorasi suara kendaraan menjadi sebuah orkestra musikal yang reflektif nan menghibur. Sebuah langkah cerdas dalam mengawali rangkaian kegiatan Jogja Artweeks 2016, serta memulai tahun ini dengan pertunjukan musik yang inspiratif. (Michael H.B. Raditya/WartaJazz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker