Buah Tangan Joey Alexander Pulang dari AS

Versi mudik Joey Alexander–genap 13 tahun Juni mendatang–adalah konser trio skala besar menjajal set lingkaran utuh 360 derajat sebagai panggung, dikitari 2000 pasang mata pada Minggu malam (22/05/‘16). Ring itu sesekali berputar, sajikan sudut lain dari Jeff “Tain” Watts (drum) dan Dan Chmielinski (bas) yang beradu simetris di seberang piano. Josiah Alexander Sila masih tersembunyikan tinggi piano saat Desember 2011 mainkan “Cantaloupe Island” di hadapan Herbie Hancock pada suatu kesempatan di @america Jakarta. Kendati tak lagi tenggelam (kini wajahnya terlihat plus refleks gerakan bahu atau malah sesekali berdiri), kerangka aransemen, elemen spontan, dan dinamika musisi muda ini berkembang melampaui pertumbuhan fisiknya sejak hijrah ke New York merekam “My Favorite Things” (Motéma Music, 2015).

Tak mudah lagi memetakan musisi-musisi terdahulu yang mempengaruhi permainannnya. Pembuka “Giant Steps” mengalir lincah bak interpretasi veteran tulen lawan-lawannya di Grammy 2016: Christian McBride, Joshua Redman, Donny McCaslin, dan John Scofield yang sudah kepala empat atau bahkan enam. Bukan satu dua pemain jazz mengenal musik sejak dini, akan tetapi Joey seolah mengembalikan jazz sebagai musik yang diajarkan secara langsung, bukan diperoleh bertahun-tahun di bangku sekolah sebagaimana diakui Larry Grenadier, pengisi albumnya, atau diamini Lester Holt yang sama-sama merasa musisi otodidak dalam wawancaranya.
Mungkin semua itu tak lain dari ungkapan kekaguman, tapi tunggu dulu hal yang didemonstrasikan berikutnya sepulang dari AS. Waltz bersensibilitas ballad tajuk album perdananya menyusul disambung perkenalan memberi kredit anggota band lain, lalu klasik “Over the Rainbow”. Percaya atau tidak sebagai penampil pro Joey mengenal baik penontonnya, dengan nada berempati di sesi usai rehat ia memperkenalkan lagi ballad, “Agar tidak terlalu intens.” Beberapa hari sesudah pertunjukan pun ia mengapresiasi penonton pada laman fans-nya, jujur bilang bahwa sebagian besar pasti baru menyimak jazz, betapa sambutan penuh cinta atas kepulangannya membikin tersentuh.

Tur yang beberapa hari berselang singgah di The Arts Centre NYUAD Dubai itu bawakan juga karya non-standards “City Lights” dan ditutup encore “Rhythm-a-Ning”, nomer rhythm changes jenaka khas Thelonious Monk. Gubernur Basuki Tjahaya Purnama yang naik ke atas panggung di jeda konser adalah pusat perhatian lain sejak awal kedatangannya menonton. Bukan sekedar cameo, Ahok memang sempat menantang Joey Alexander mainkan lagu Betawi “Kicir Kicir” yang ditanggapi serius dengan menghadirkan Barry Likumahuwa dan Dira Sugandi. Ahok pun punya pendapat tentang Joey, ini bukan hanya spesial seperti kata host Najwa Shihab, lebih dari itu secara rohani, ini ada campur tangan Tuhan.
***
Banyak yang takjub mendapati sejarah dicetak, bahwa nominasi Grammy pertama yang membawa nama Indonesia datang dari jazz, yang jangankan kenal ambisi industri, akrab di khalayak pun tidak. Hingga sebagai penjelasan ekstra ada yang harus sebut tak ada konservatori musik di sini, seolah jazznya Joey lantas lahir secara istimewa per se. Namun, di balik pesona ajaib–tak abaikan kerja keras, tekun, dan berkorban tentu saja–jangan-jangan orang lupa mencatat geliat jazz tanah air yang belakangan punya puluhan festival, bintang muda lulusan luar, fan-base serta jalur distribusi non-konvensional, dan bahwa Joey pun adalah anak kandung akses, sesuatu yang generasi bintang sebelumnya harus cari lewat siaran radio gelombang pendek negeri tetangga atau bersabar tunggu platnya tersedia untuk diputar. Mungkin sekarang sudah waktunya dan ini waktunya Joey Alexander.