Persembahan Manis dari Monita Tahalea
Setengah jam sebelum penampil naik panggung, Hall C2 ternyata sudah dipadati pengunjung. Barisan depan sampai tengah pun terisi penuh oleh dewasa muda yang haus akan suara syahdu Monita Tahalea. Khusus Hall C2 memang tak memakai kursi. Pengunjung sengaja dibebaskan duduk lesehan beralaskan karpet tebal. Suasana nyaman pun terasa karena beberapa bean bag tersedia di sana. Lengkap sudah malam itu: penonton dapat menyaksikan Monita berdendang membawakan karya-karya andalannya, mendengarkan ‘suara beningnya’, juga dapat menyilakan kaki sembari rehat sejenak—apalagi bagi yang sudah datang sejak awal, sejak matahari masih dengan gagahnya berseri.
Minggu malam kala itu terbilang spesial. Selain Jessilardus Mates (drum), Yosep Sitompul (piano), Indra Perkasa (bass), dan Gerald Situmorang (gitar), Monita juga mengajak TJ Kusuma (gitar)—salah satu personel Barasuara—dan Windy Setiadi (akordeon) untuk ikut mengisi komposisi lagunya.
Baru beberapa kata dalam lirik “Tak Sendiri” dilantunkan, para penonton kemudian sing along. Begitu pula pada lagu “Hai” yang dibawakan setelahnya. Penampil dan penonton seolah saling berdialog lewat lirik-liriknya. Interaksi Monita dengan penonton tak sampai di situ. Pada judul “168”, Monita sedikit bercerita tentang isi lagu yang dibawakan: tentang seseorang yang sudah lama dicintai, sulit dilupakan, tetapi akhirnya tak bisa bersama. Dan sebelumnya, lagu ini juga pernah ia bawakan bersama Chaka Priambudi.
Lagu keempat berjudul “Perahu (Perahu Jingga)”. Lagu yang sedikit terdengar kelam-tetapi-penuh harap. Juga lagu “Bisu” dan “Saat Teduh” yang meski bertempo lambat, komposisinya mampu membuat lagu tak terasa ‘gelap’. Sebelum membawakan lagu terakhir, Monita sempat mengingat momen-momen saat ia kali pertama hadir sebagai pengunjung, sampai akhirnya berkesempatan menyanyi di Java Jazz Festival. Ia mengatakan bahwa proses yang ia lalui menjadikan dirinya tekun mempelajari dunia musik.
Terakhir adalah “I’ll Be Fine”, satu-satunya lagu berbahasa Inggris dalam album Dandelion yang ia bawakan. Tak hanya dengan penonton Monita berinteraksi, tetapi juga dengan para personel band di panggung. Monita mengajak Gerald, Yosep, Jessi, Indra, dan TJ untuk menyanyikan beberapa lirik, “Singing na na na na na, don’t you worry i’ll be fun”. Tidak dimungkiri memang, aksi para personel unjuk suara di panggung menjadi penutup yang cukup seru malam itu. Meski Windy—sang pemain akordeon—enggan bernyanyi, hal tersebut tak mengurangi suasana hangat Hall C2.
Album Dandelion menawarkan materi yang tidak jauh berbeda dengan album terdahulu, lagu-lagu bertema cinta yang dibalut aransemen pop dan jazz. Nomor-nomor yang diproduseri Monita dan Gerald Situmorang ini memang masih terasa khasnya: manis dan hangat. Namun, pada album ini, suguhan temanya lebih variatif. Selain hal-ihwal cinta, Monita juga menghadirkan tema eratnya persahabatan, kehidupan, juga tentang segenggam harapan.
Monita—bagi penulis terutama—tak hanya membawakan lagu-lagunya dengan baik, tetapi juga berhasil mengajak pengunjung ikut menghayati liriknya. Dan tak hanya itu, penonton pun keluar Hall C2 membawa memori manis yang kadang membuat mereka katarsis.