Menziarahi Riza Arshad melalui Komposisi-komposisinya dalam Simak Riza Arshad #01

Kabar menggembirakan hadir melalui akun Klab Jazz pada salah satu sosial media yang menjelaskan tentang acara dengan tajuk nonton bareng sebuah dokumenter Jazz berjudul “Our Language”, lengkap dengan diskusi setelahnya, dan yang tak kalah menggembirakan yaitu adanya penampilan dari Amando Putra, Blue Ocean Project, Kharisma Hakiki dan Mirna Nurmala, dalam membawakan kembali komposisi-komposisi karya dari mendiang Riza Arshad.
Acara yang diselenggarakan atas kolaborasi antara Klab Jazz, IFI Bandung, dan Layar Kita tersebut bertempat di auditorium IFI Bandung (Institut Français d’Indonésie) pada Senin petang hingga malam hari. Acara dimulai dengan pemutaran film yang berusaha membagi-bagikan ingatan pada –masa yang disebut dengan- era Jazz Age (periode 1920), dalam film tersebut, menghadirkan sosok seperti Bix Beiderbecke, Louis Amstrong, Benny Goodman, Arthie Shaw dan Duke Ellington. Film yang dihadirkan Ken Burns, meskipun diisi dengan porsi foto-foto yang lebih banyak, tak jadi masalah, karena film tersebut berhasil memberikan asupan-asupan wawasan tentang Jazz pada masa itu bagi saya. Film yang menceritakan masa saat orang tua saya pun belum lahir pun sudah “makbul” memberikan ruang perjalanan ke masa lampau.

Belum habis perasaan bahagia saya dalam menikmati perjalanan ke masa 1920 melalui film karya Ken Burns, kami semua yang duduk pun diajak untuk berziarah mengunjungi karya-karya yang pernah dilahirkan oleh seorang Riza Arshad semasa hidupnya. Karya-karya tersebut dibawakan oleh Blue Ocean Project, gitaris Amando Putra, dan dua penyanyi bernama Kharisma Hakiki dan Mirna Nurmala.
Ada keheningan yang cukup terukur beberapa detik saat mereka hendak mulai. Detik-detik yang hening, auditorium yang memberikan cahaya hanya kepada penampil, membuat bangku-bangku tempat penonton menjadi sedikit gelap. Kegelapan ini membangun perasaan haru terhadap seorang sosok yang sampai saat ini berpengaruh dalam skena Jazz di Indonesia.
Sosok tersebut, akhirnya hadir, namun kali ini kehadirannya diterjemahkan bersama komposisi-komposisi yang ditampilkan. Diawali dengan Disapih, komposisi yang pernah hadir dalam Album Demi Masa (2009), dan hadir kembali dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2, sukses menghangatkan keheningan malam itu. Kemudian dilanjutkan dengan komposisi perasaan ini, kemudian komposisi selanjutnya berjudul senja di pelabuhan kecil, sajak –meminjam istilah dari almarhum Denny Sakrie- sajak yang berjodoh dengan komposisi dari Riza Arshad yang diterjemahkan dalam bentuk keroncong, dihadirkan kembali oleh blue ocean project yang malam itu juga dibantu oleh Amando Putra, Kharisma Hakiki dan Mirna Nurmala, lalu komposisi distant folks, yang melayang-layang pelan mengisi ruang-ruang auditorium IFI malam itu juga yang terakhir, yaitu, komposisi yang berjudul kerinduan dengan lirik menggunakan bahasa flores, ikut mewakili perasaan kami saat itu juga, tentang sebuah kerinduan.
Malam tersebut menyuguhkan romantisme nya tersendiri seperti apa yang dibilang oleh seorang Alan Lightman dalam buku “Einstein’s Dreams”, bahwa; andaikan waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikianlah dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya. Malam itu, komposisi-komposisi yang hadir sukses membuat waktu mengulang dirinya sendiri, mengulang saat mendiang Riza hadir bersama kita, melahirkan karya-karya yang akan kita nikmati sepanjang waktu.
Meskipun seorang Alan Lightman pernah menuliskan bahwa kematian-kematian sebagai pertanda adanya dimensi waktu. Nyatanya keberadaan Riza masih bisa kita rasakan, melalui nada-nada dan komposisi-komposisi yang bertebaran di ruang-ruang apresiasi dalam bentuk acara-acara yang disajikan. Riza masih dapat kita rasakan keberadaannya, barangkali disana ia ikut menyimak kita sambil berdialog dengan dirinya sendiri.
Here is a collection of places you can buy bitcoin online right now.