

Masih dalam nuansa peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, Jazz Gunung ke-9 yang digelar pada 18-19 Agustus kemarin boleh dikata sebagai gelaran musik yang tak hanya menyuguhkan hingar-bingar musik jazz. Keseriusan penyelenggara – Jazz Gunung Indonesia – kian terlihat dengan tagline yang diusung yaitu “Merdekanya Jazz Meneguhkan Indonesia”. Tagline tersebut bukan tanpa makna, melalui suguhan jazz di pegunungan, penyelenggara seakan ingin menyampaikan makna kemerdekaan bermusik juga kaitannya dengan rasa kebangsaan Indonesia kepada masyarakat.
Gelaran yang bertempat di Amfiteater Terbuka, Jiwa Jawa Resort Bromo tersebut menyajikan pemusik-pemusik dari berbagai aliran jazz. Seperti sudah menjadi tradisi, bahwa Jazz Gunung senantiasa mengundang musisi internasional, kali ini Paul McCandless bersama Group Charged Particles memberikan jazz bertempo lambat. Paul sendiri merupakan instumentalis peraih Grammy Awards yang juga berkali-kali masuk dalam nominasi Reader’s Poll dan Critic’s Poll majalah DownBeat. Kehadirannya di Jazz Gunung 2017 bersama Charged Particles tentu saja menjadi pilihan yang tepat, mengingat tak semua acara jazz benar-benar menyajikan musisi jazz dengan genre serius. Harapannya, penampilan Paul dan kawan memperkaya referensi akan musik jazz bagi seluruh masyarakat yang hadir di Jazz Gunung.

Gema kebangsaan dihadirkan lewat tampilnya sejumlah musisi tanah air seperti Ring of Fire Project featuring Idang Rasjidi dan Soimah Poncowati, Dewa Budjana Zentuary, Indra Lesmana Keytar Trio, dan Sri Hanuraga featuring Dira Sugandi. Dewa Budjana Zentuary membawakan sejumlah dalam album Dewa Budjana seperti “Lake Takengon”, “Surya Namaskar” dan “Duaji Guruji” yang bernuansa Bali, kampung halaman Budjana. Sementara itu Indra Lesmana bersama bandnya membawa kembali ingatan papenonton yang memenuhi panggung terbuka akan sosok legenda jazz Indonesia yang juga sang ayah Jack Lesmana dengan memainkan “Bulas di Atas Asia”, “Joy Joy Joy”, dan “The Morning Birds”.

Dinginnya Bromo tak menghalangi Sri Hanuraga Trio featuring Dira Sugandi membawakan jazz rasa Indonesia dengan lagu-lagu daerah seperti “Kincir-kincir”, “Burung Dadali”, “Bengawan Solo” dan “Kampuang Nan Jauh Di Mato” yang diambil dari album “Indonesia Volume 1”. Penampilan empat musisi jazz muda ini cukup menggugah kesadaran penonton akan lagu-lagu daerah sebagai kekayaan bangsa yang mulai ditinggalkan, sebuah kritik bagi dunia musik tanah air.

Seakan sudah menjadi kebiasaan dalam setiap aksi panggungnya, Ring of Fire Project menampilkan gaya bermusik yang rampak dengan nuansa etnik. Djaduk Ferianto dan kawan mengajak Soimah Poncowati, seorang sinden yang kini aktif di layar kaca, untuk berkolaborasi bersama pianis Idang Rasjidi menghibur penonton di Jazz Gunung. Sebuah lagu bertempo cepat “Woyo-woyo” pun menjadi gebrakan di awal penampilan. Nuansa musik khas Pantura sengaja dihadirkan untuk mengingatkan pada seluruh penonton bahwa Indonesia memiliki keragaman genre musik yang patut dilestarikan. Sementara sang maestro jazz menyisipkan warna tersendiri dalam penampilan Ring of Fire kali ini.

Tak luput dari sambutan hangat penampilan idola kaum muda Glenn Fredly, Monita Tahalea, dan Maliq and D’Essentials yang turut memeriahkan gelaran Jazz Gunung. Sebuah gimmick dihadirkan Glenn lewat jamming session bersama Idang Rasjidi, seolah tak hendak kalah dengan juniornya, pianis kawakan ini pun memberikan kebolehan berimprovisasi. Popularitas musisi seperti Monita, Glenn, dan Maliq and Dessentials tak diragukan menjadi daya tarik tersendiri pada setiap penyelenggaraan Jazz Gunung, hanya patut pula apresiasi diberikan pada komitmen mereka menyajikan musik yang berkualitas.
Musisi-musisi lokal seperti Surabaya All Stars dan Sono Seni Ensemble pun memainkan komposisi bernuansa kedaerahan. Penampilan Surabaya All Stars yang beranggotakan para pemain jazz senior sukses memainkan “The Look of Love” dan “Jula Juli” sebagai tribute untuk Kartolo. Aroma keroncong dan langgam Jawa dibawakan Sono Seni Ensemble dalam aransemen bernuansa bosanova, menambah harmoni bebunyian di ketinggian. Dua grup ini pun kian melengkapi warna warni musik yag tersaji di Jazz Gunung 2017, juga bahwa kualitas musisi daerah tak kalah pamor.
Jika melihat kembali konsep pentas musik di ketinggian serta slogan “Indahnya Jazz dan Merdunya Gunung”, Jazz Gunung tampaknya mulai meneguhkan diri sebagai salah satu gelaran jazz dengan gengsi tinggi. Tidak hanya menampilkan musisi-musisi jazz papan atas ataupun sekedar menjadi acara tahunan saja, namun ikut andil pula dalam apresiasi jazz di tanah air. Semoga kualitas penyelenggaraan dengan pencapaian yang tak main-main ini senantiasa dijaga dan menjadi cambuk bagi penyelenggara untuk terus menyuguhkan musik jazz yang harmoni dengan alam. (Ari Kurniawati/WartaJazz)