Jazz Gunung Bromo 2019 – Jazz festival dengan banyak warna

Jazz Gunung Bromo 2019 menghadirkan festival dengan banyak warna dari seluruh Indonesia, masing-masing memberikan rasa jazz mereka sendiri. Beragam gaya, straight-ahead (Yuri Mahatma Quartet), etnik (Geliga), pop (Sierra Soetedjo), blues (Gugun Blues Shelter), acid jazz (Tristan, dari Belanda), jazz terinspirasi oleh sains (Voyager 4 dari Perancis), dan bahkan beberapa rap menunjukkan bahwa musisi Indonesia ingin menjelajah.
Syukurlah, banyak seniman yang menyajikan musik berdasarkan standar jazz dan bahasa jazz seperti Latin Jazz, bebop, dan fusion mainstream. Ada banyak gaya yang beragam, tema jazz yang dapat mengikat semua orang. Jazz Gunung dapat dengan bercanda disebut “cool jazz”, tetapi festival terasa hot ketika para penonton menari, bernyanyi, dan mendengarkan bersama.
Tompi memainkan set lagu yang diisi dengan banyak melodinya yang manis, seperti Tak Pernah, Setengah Hati, dan menutup malam pertama festival dengan Cerita Kita. Dia juga memberikan sampul salah satu lagu yang favorit Indonesia oleh Gesang Martohartono, Bengawan Solo. Apa yang membuat pertunjukan ini berbeda dari acara-acara lainnya adalah hubungan musikal dengan drummernya Rafi Muhammad dan pianis Yongki Vincent. Yongki mampu menggambar banyak warna yang terletak di dalam lagu-lagu Tompi, menambah kedalaman baru ke pertunjukan. Yongki dan Tompi bahkan mengisyaratkan kegilaan musik dari film terbaru dengan Can You Feel the Love Tonight, dengan gaya main-main yang menghubungkan para musisinya dengan penontonnya.
Hari kedua dibuka dengan kejutan yang cukup menyenangkan dari MLD Jazz Project Musim 4, yang saat ini sedang tur di seluruh Jawa. Penyanyi Puspallia Panggabean membuat penonton terhibur sambil mengkoneksikan mereka lewat nomor standar jazz seperti My Favorite Things. Dia memberikan beberapa informasi tentang bagaimana lagu itu mendapatkan popularitas di musikal Broadway 1959 The Sound of Music, dan kemudian film 1965. Dia menjelaskan bagaimana standar jazz dapat diartikan bagi mereka yang hadir yang mungkin hanya tahu melodi dari lagu Ariana Grande 7 Rings. Band ini memiliki rasa yang unik untuk memainkan standar ini dengan penuh semangat. Mereka bahkan menampilkan lagu asli berjudul Kee oleh bassis band Hafiz Aga. Perhatikan musisi-musisi ini di tahun-tahun mendatang karena tur ini mungkin hanya awal dari karir mereka yang panjang.
Ada acara yang luar biasa untuk menghormati musisi Maryono di bagian Penghargaan Jazz Gunung. Maryono adalah salah satu musisi jazz dasar Indonesia yang memainkan klarinet, flute, dan saksofon bersama Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Benny Mustapha. Dia adalah anggota dari grup seminalis Indonesian All Stars dan bermain di album Djanger Bali dengan pemain klarinet Amerika Tony Scott. Maryono adalah contoh dari jazz di Indonesia bukan hal yang baru, tetapi sudah ada musisi berkualitas sejak Indonesia dimulai. FX Boy, pemain alto saxophone dari Surabaya All Stars menerima penghargaan karena dia dan kelompoknya mendapat manfaat dengan menjadi murid Maryono.
Festival ditutup dengan dua kelompok yang sangat berbeda. Candra Darusman menutup festival didukung sekelompok musisi yang sudah dikenal dari generasi saat ini. Bassist Barry Likumahuwa membuat festival tetap menarik hingga larut malam dengan bass tanda tangannya yang rendah “thumps” dan “pops” yang renyah. Bintang saxophone yang naik daun, Bass G memukau penonton dengan kemampuannya hanya bermain dengan satu tangan, meskipun tangannya mungkin dingin, itu adalah pertunjukan yang luar biasa.
Sebelumnya, pengagas festival dan musisi Djaduk Ferianto bekerja sama dengan “Bapak Patah Hati Nasional” Didi Kempot berkolaborasi dalam Project Ring of Fire. Berbagai gaya musik etnis terdengar saat mereka melakukan interpretasi baru terhadap My Favorite Things melalui kendang dan suling. Dari Jazz Gunung 2019 kita dapat mendengar bahwa jazz di Indonesia dapat dilakukan melalui banyak suara dan gaya.