Refleksi Hubungan Sesama dan Alam dalam tur Entangled Boi Akih
Penampilan duo jazz Boi Akih di Kafe Jogjazz, Gondokusuman, Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Jazz Kotabaru pada Sabtu (11/10/2025).
Di sebuah kafe sederhana, orang-orang berkumpul di bawah cahaya bulan purnama. Denting gitar Niels Brouwer berpadu dengan suara etnik nan dinamis dari Monica Akihary, vokalis berdarah Maluku, mengakhiri pertunjukan bertajuk Moon Jazz tersebut dengan syahdu.
Penampilan tersebut menjadi penutup rangkaian tur duo jazz asal Belanda, Boi Akih, di Indonesia tahun ini. Bersanding dengan pemain piano jazz cilik, Misya Adlina, mereka tampil di Kafe Jogjazz, Gondokusuman, Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Jazz Kotabaru pada Sabtu (11/10/2025).
Monica menjelaskan, tur kali ini menghadirkan repertoar baru bertajuk Entangled yang berarti “terjalin”. Judul itu lahir dari perenungan mereka saat tinggal beberapa waktu di Pegunungan Ambon, Tulehu, ketika bekerja bersama kelompok musik bambu tiup Maluku.
Kala itu, keduanya melihat kontras antara cara hidup masyarakat pegunungan dan kota. Perbedaan itu tampak dari bagaimana komunitas tradisional menjaga keseimbangan antara sesama dan alam.
“Orang-orang kota menjalani hidup tanpa banyak menoleh satu sama lain,” ujar Monica, 61 tahun.
Menurutnya, banyak orang kota merasa sudah memahami makna keseimbangan, tanpa benar-benar tahu apa artinya. Karena itu, setiap satu hingga dua tahun sekali, Boi Akih kembali ke Ambon untuk mencari kembali keseimbangan yang sejati.
Salah satu lagu mereka bahkan lahir dari pengalaman sederhana. Monica bercerita tentang seorang musisi yang tak menepati janji bermain musik bersama mereka. Dua hari kemudian, pria itu datang menjelaskan bahwa ia jatuh sakit setelah pergi ke hutan untuk mencari madu.
“Di Eropa, orang akan menyalakan asap, memakai pakaian pelindung, dan mengambil madu sebanyak yang ia mau. Tapi dia bilang, ‘Kalau saya lakukan itu, lebah akan pergi,’” kenang Monica.
Bagi Monica, hidup yang menghargai alam seperti itu adalah bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat dan generasi mendatang.
Ia juga mengingat kesan pertama saat datang ke Indonesia bersama Niels. Pria itu, katanya, merasa tidak perlu bersikap rumit di sini.
Saya bertanya, ‘Mengapa begitu?’ Dia menjawab, ‘Kita bisa banyak belajar,” tutur perempuan itu.
Perbedaan Tampil di Indonesia
Hal menarik selama menjalani tur di Indonesia, Monica memaparkan, adalah perbedaan suasana dan audiens. Menurutnya di Indonesia semua terasa lebih komunal. Bermain di ruang terbuka, membiarkan musik beradu dengan suara mobil, burung, dan obrolan orang.
Berbeda dengan di Belanda, semua lebih formal dalam pertunjukan. Orang-orang datang, duduk diam dan fokus menyaksikan.
“Di Indonesia kami harus berusaha keras menarik perhatian penonton,” cerita Monica.
Alih-alih melihat itu sebagai kekurangan, Ia merasa justru di situlah tantangannya. Ketika orang melihat apa yang terjadi di panggung, mereka kemudian ikut masuk ke dalam musik bahkan bertepuk tangan di tengah lagu.
Selain itu, penonton di Indonesia tidak perlu membaca pamflet atau teks penjelasan terlebih dahulu. Mereka langsung ikut merasakan apa yang mereka mainkan dari atas panggung.
Sebagai penutup, Monica kembali merenungkan perjalanan tur Boi Akih selama di Asia maupun Afrika. Pertemuan dengan orang-orang baru selalu memberikan cerita baginya untuk memahami keindahan tradisi yang berbeda.
Dengan mengangkat tema Entangled, mereka ingin menyoroti hubungan dan pembelajaran yang muncul dari pertemuan lintas budaya itu. Alih-alih meromantisasi, pungkas Monica, “Kita tidak bisa berhenti pada tradisi. Kita harus memahami dan mengembangkannya.”
Sofia Natalia Zebua

