Jazz Goes To Campus : Merawat Api Jazz
Wow ! Saya cukup kaget ketika mengetahui bahwa penyelenggaraan ajang “Jazz Goes To Campus” yang tiap tahun digelar mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia telah memasuki usia yang ke 32. Betapa tidak, sekelompok mahasiswa yang tujuan utamanya adalah menimba ilmu di kampus, toh masih bisa membagi konsentrasi dengan mengadakan sebuah kegiatan ekstra kulikuler yang tak gampang : mengadakan festival jazz. Dalam budaya pop, genre musik jazz memang agak sulit menembus selera massal. Dengan kompleksitas struktural musiknya yang cenderung eklektikal, jazz memang butuh tahap tertentu untuk memahaminya secara general. Setidaknya parameter inilah yang mungkin membuat jazz agak tersendat sendat dalam pola marketingnya. Dalam industri musik yang berkembang di Indonesia, jazz mungkin berada pada urutan kesekian dibanding jenis music lainnya yang lebih poppish dan populis. Dengan setumpuk realita semacam itu, wajarlah jika kita mengangkat topi setinggi tingginya untuk civitas akademika Universitas Indonesia ini yang secara estafet dari generasi ke generasi untuk tetap memancangkan agenda jazz di pelataran kampus. Jelas ini merupakan sebuah stamina yang seolah tiada henti. Terus bergulir dan bergulir. Jazz Goes To Campus seolah sebuah kurikulum tak resmi yang menghias tembok kampus Univesitas Indonesia. Walaupun digagas oleh Fakultas Ekonomi, namun festival jazz ini memang menjadi milik kampus Universitas Indonesia.
Jazz Goes To Campus digagas oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1978. Saat itu Candra Darusman dan rekan yang tengah terbuai jazz berupaya mewujudkan obsesi memainkan music jazz di suasana kampus. Di era itu musik jazz memang mendapat sedikit celah dalam industri musik pop. Walaupun celah itu tak menganga besar, namun memberi sedikit nuansa dalam industri musik pop Indonesia. Beberapa album jazzy atau kerap diistilahkan sebagai pop jazz mulai terpampang di etalase music negeri ini. Jack Lesmana adalah sosok seniman jazz yang mulai menularkan benih-benihnya antara lain dengan merilis album “Api Asmara” yang dinyanyikan Rien Djamain pada tahun 1975. Ternyata upaya Jack Lesmana menuai sukses. Saat itu beberapa label rekaman mulai mengikuti jejak yang dirintis Hidayat Record, mulai dari Pramaqua, Atlantic Record hingga ke label raksasa seperti Remaco atau Purnama pun mulai memberanikan diri merilis album berlabel pop jazz atau jazzy. Seiring dengan terbukanya sedikit celah dalam industri musik untuk music jazz, bermunculan pula generasi baru jazz Indonesia seperti Elfa Secioria, Indra Lesmana hingga Candra Darusman. Sosok yang disebut terakhir malah menggelembungkan euphoria jazz di kampusnya sendiri, Fakultas Ekonomi UI di Salemba. Candra Darusman dan kawan kawan memang tak bermuluk-muluk. Mereka hanya ingin mementaskan jazz di kampus. Dengan perangkat yang serba seadanya, mereka mulai menggelar jazz. Kegiatan ini ternyata men jadi sebuah kegiatan estafet yang terus dilakukan mahasiswa Ekonomi UI ini dari tahun ke tahun.
Jazz Goes To Campus bahkan dianggap sebaya dengan Festival Jazz Internasional tertua North Sea Jazz Festival yang berlangsung setiap tahun di Belanda. Para mahasiswa Ekonomi ini tampaknya memiliki konsistensi yang kukuh, disamping stamina yang luar biasa itu. Ketika sebuah ajang jazz bertaraf internasional dan dikelola secara professional JakJazz Festival sempat mati suri selama beberapa tahun, toh Jazz Goes To Campus tetap berkibar.
Memang tak sedikit yang mengkritik bahwa Jazz Goes To Campus hanyalah sebuah ajang tahunan yang terpaksa dipertahankan karena dianggap hanya mempertahabnkan sebuah ikon yang telah tercipta di balik tembok kampus UI. Tapi rasanya alangkah tak bijaksana kritikan tersebut, karena menurut saya ajang Jazz Goes To Campus ini memang merupakan semacam ajang penggodokan bagi para mahasiswa yang sesungguhnya tengah menuntut ilmu di kampus. Jazz Goes To Campus bisa jadi adalah kawah candradimuka bagi para mahasiswa yang dampaknya juga terasa bagi industri music di Indonesia, setidaknya untuk tetap menjaga keajegan konstelasi musik jazz itu sendiri.
Kritik lain yang mencuat bahwa ajang ini hanya sebatas hura-hura yang tidak memiliki gaung bagi musik jazz Indonesia. Bergerombolnya penonton di kampus Depok hanyalah sebuah arena hang out demi peningkatan status sosial bel;aka. Saya pun merasa tudingan ini jelas tidak arif. Meskipun sejujurnya hal-hal semacam itu memang terpampang jelas di depan mata kita saat berbaur dalam perhelatan tahunan itu. Banyak penonton yang memilih untuk berbincang-bincang ketimbang menikmati komposisi jazz yang memiliki tingkat apresiasi yang relatif tinggi. Namun di sisi lainnya, toh kepanitiaan temporer Jazz Goes To Campus tetap berupaya melakukan hal hal terpuji, semisal mengandakan Klinik Jazz yang menghadirkan beberapa pemusik jazz secara tutorial maupun awarding terhadap orang orang yang berjasa dalam mengembangkan dan mempertahankan jazz di Indonesia. Stamina mereka , para mahasiswa ini, jelas merupakan sumbu yang menjadi penghantar membaranya api jazz di negeri ini. Walaupun api jazz di negeri ini tak sebesar api jenis musik lainnya, namun toh jazz tetap menyala dan bersinar. Rasanya saying jika api itu padam.