Ngayogjazz dan Momentum Perubahan

Dunia musik jazz Yogyakarta mengalami perubahan arah sejak 2007, momentum perubahan ditandai dengan diadakannya event Ngayogjazz pertama yang digelar di padepokan seni Bagong Kussudiarjo. Apa saja bentuk perubahan yang terjadi dalam dunia musik jazz Jogja? Sebelum membahas mengenai perubahan tersebut, terlebih dahulu kita lihat sekilas sejarah musik jazz Yogyakarta mulai tahun 2000.
Menengok ke Belakang : Jazz Gayeng dan Jogja Jazz Club
Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Itulah pesan presiden pertama Indonesia Soekarno bagi bangsa Indonesia, hal ini juga perlu direfleksikan dalam dunia musik jazz Yogyakarta sekarang ini.
Sebelum adanya Ngayogjazz dan juga komunitas Jazz Jogja dengan produknya yaitu jazz mben senen (pasca 2007), dalam scene jazz Jogja dikenal adanya komunitas ”formal dan terorganisir” pertama yang dibentuk pada tahun 2002 yaitu Jogja Jazz Club (JJC). Diprakarsai oleh para personel Tuti ’n friends dan juga wartajazz, komunitas ini merupakan kelanjutan dari festival jazz gayeng yang diadakan tahun 2001. Kegiatan komunitas dilakukan di restoran gadjah wong, mencakup jam session dan juga workshop (www.wartajazz.com). Kegiatan komunitas jazz Jogja pada perkembangannya pindah ke berbagai tempat seperti Shaker, Backyard, Big Belly, D’Click dan sekarang di Bentara Budaya. Jogja Jazz Club kemudian juga mengalami fragmentasi menjadi beberapa komunitas seperti : komunitas Alldint ataupun komunitas Samirono.
Mengenai Jazz Gayeng, penyelenggaraan festival tersebut dapat dilihat sebagai puncak keberhasilan D’mood band (cikal bakal Tuti ’n friends band) dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi fusion jazz Yogyakarta pada saat itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho dalam bukunya Menumbuhkan Ide-Ide Kritis (2001), scene jazz saat itu terperangkap dalam Mcdonaldisasi, dimana fusion jazz yang easy listening merajalela. Dalam acara ini, Tuti ’n friends menjadi pengisi acara utama, repertoar yang dimainkan kebanyakan jazz ”standart” misalnya : It Don’t Mean a Thing, How High the Moon serta Take the A Train (www.youtube.com). Penyelenggaraan Jazz Gayeng I membuat Tuti ’n friends band dengan wacana jazz standart-nya menjadi pihak yang dominan (Rahadianto, 2010)
Keberhasilan Jazz Gayeng I dilanjutkan dengan diadakannya Jazz Gayeng II tahun 2002, Tuti ‘n friends saat itu bahkan berkolaborasi dengan Mike del Ferro (trio dari Belanda). Repertoar yang dibawakan pada Jazz Gayeng II masih berupa jazz standart (www.youtube.com). Festival Jazz Gayeng pada perkembangannya berlanjut hingga Jazz Gayeng V, namun kemudian mengalami kevakuman karena faktor internal maupun eksternal.
Ngayogjazz 2007 sebagai Momentum Perubahan Jazz Yogyakarta
Pasca diadakannya Ngayogjazz pertama, athmosphere jazz Yogyakarta banyak mengalami perubahan. Berbagai wacana mengenai perubahan ini telah dimulai sejak diadakan jam session di D’click Kotabaru. Ada beberapa hal yang saya amati antara lain: agen yang berkuasa, segi performances, kreatifitas musisi hingga ”kemasan” yang membalut konstruksi wacana jazz Yogyakarta (Rahadianto, 2010). Dari berbagai perubahan tersebut, ada satu poin penting yang melandasi atau menjadi pengikat yaitu mulai masuknya unsur lokalitas dalam wacana jazz Yogyakarta.
Peran Djadug Ferianto dalam scene jazz Jogja tidak dapat dipungkiri, mengutip Bourdieu dalam The Field of Cultural Production (1993) habitus yang dibawa dari ranah tradisi perlahan mulai terinternalisasi. Track record Djadug melalui Kua Etnika, sebuah group musik yang menegosiasikan unsur global dengan lokal berperan sebagai symbolic capital untuk mengkonstruksikan wacana baru (heterodoxa). Selain Djadug, proses konstruksi wacana juga didukung oleh agen-agen lain yang mempunyai visi serupa.
Unsur lokal dapat dilihat dari diadakannya Ngayogjazz 2007 dan setelahnya yang mengeksplorasi desa sebagai ruang berkesenian, mengelaborasi pertunjukan seni tradisi dengan jazz hingga pembentukan ruang-ruang baru untuk mempromosikan produk ekonomi lokal. Pada Ngayogjazz 2009 misalnya, terjadi perpaduan menarik dimana musik jazz dimainkan dalam panggung jazz yang bernama Basiyo, Cokrowarsito, Condrolukito dan dibalut dalam sebuah acara yang diberi nama “Goro-Goro”. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan bahwa jazz yang dianggap elite, modern dan sophisticated sebenarnya tidak berbeda dengan budaya lokal yang diciptakan oleh masyarakat dari lapisan grassroots.
Unsur lokal dalam Ngayogjazz tidak berhenti hanya pada diadakannya festival namun berlanjut dengan diadakannya jam session “Jazz Mben Senen” di bentara budaya. Angkringan, lesehan serta panggung tujuh belasan akan Anda jumpai jika sempat menengok acara tersebut, selain itu pernah beberapa kali jazz dielaborasikan dengan dangdut ataupun musik tradisi.
Dari uraian singkat diatas, disimpulkan bahwa Ngayogjazz dapat dilihat sebagai momentum perubahan terutama mulai dimasukkannya unsur lokalitas dalam dunia jazz Yogyakarta. Dalam terminology Berger (2002), perubahan tersebut merupakan fenomena “Synthesis of the global universal culture with the particular indigenous culture” atau dalam bahasa Khondker (2004) “Globalization does not erase all differences!”
Ngayogjazz 2011 : Dapatkah Menjadi Momentum Perubahan bagi Yogyakarta?
Ngayogjazz 2011 dengan tema “ Mangan Ora Mangan Ngejazz” diharapkan dapat menyebarkan pesan mengenai solidaritas yang berbasis gemeinschaft dalam bahasa Ferdinand Tonnies. Solidaritas yang dimaksud bukan dalam kerangka pertukaran rasional bagi maksimalisasi kepentingan individu namun lebih ke maksimalisasi kepentingan rakyat banyak.
Dalam konteks Yogyakarta pasca bencana, rasa solidaritas berbasis gemeinschaft dari berbagai elemen diharapkan semakin menguat sehingga mampu menjadi social capital bagi kebangkitan Yogyakarta di masa mendatang. Solidaritas yang terbangun diharapkan tidak menggunakan logika “Yen kowe nulung aku – gantian kowe tak tulung, yen ora yo aku wegah” ala homo economicus namun lebih ke logika homo socius yang menyadari bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya.
Ngayogjazz 2011 sebagai sebuah gerakan budaya yang disaksikan audiences dari berbagai macam kelas sosial diharapkan dapat menjadi media penyampaian pesan akan pentingnya solidaritas sosial.
Referensi
Berger, Peter l and Samuel Huntington (ed). Many Globalizations : Cultural Diversity in the Contemporary World. Oxford University Press. New York. 2002.
Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural production. Polity Press. Cambridge. 1993.
Nugroho, Heru. Menumbuhkan Ide-Ide Kritis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.
Jurnal
Khondker, Habibul Haque. Glocalization as Globalization : Evolution of a Sociological Concept. Bangladesh e-Journal of Sociology, Vol. 1. No 2.July, 2004.
Tesis
Rahadianto, Oki. Dinamika Kekuasaan dalam Komunitas Jazz Yogyakarta 2002-2010. Jurusan Sosiologi. Universitas Indonesia. 2010.
Website
Makasih BackYard bisa dicantumin..biarpun cuma setahun..tp seneng jg bs jadi bagian dr Jazz Community Yogya..
Saluut..keep up the good works..
Nambahin dikit kalau boleh.
Jazz on the street: dulu di ugm sebelum pindah ke alun2 utara. Sempat di depan rd walikota, menampilkan Balawan dan diskusi bersama mas Ajie (wartajazz).