INOVASI REKAMAN TRUMPET JAZZ SASKIA LAROO
Miles Davis memang sosok legenda bagi musik dunia. Tiupan trumpet sang maestro menjadi inspirasi bagi banyak musisi dan calon pemusik. Salah satunya apa yang terjadi di Amsterdam, Belanda 29 tahun yang lalu pada seorang gadis belasan tahun. Belia itu, De Jordaan (The Garden) kerap mendengarkan komposisi Miles “Someday My Prince Will Come”. Dan kemudian “L’ascenseur Pour L’echafaud” dua tahun kemudian. Ketertarikannya pada lagu-lagu macam itu terus mengental, sampai di umur 19 tahun ia berhenti dari kuliah ilmu matematikanya dan memulai pendidikan sekolah musik dengan mayor pada jazz trumpet dan upright bass sebagai instrumen kedua. Sejak itu ia terus mengembangkan karir musiknya dan kini dunia mengenalnya sebagai Saskia Laroo.
Sebagai trumpetist, tiupan Saskia Laroo memiliki sound yang spesial. Gaya bermusiknya bervariasi dari jazz ke dance music, sampai juga ke world dan musik pop. Rentangan variasi ini dapat disimak dalam empat album yang telah dirilis melalui label miliknya sendiri, Laroo Records.
Album pertama Saskia Laroo dirilis tahun 1994, dan sekaligus merupakan produk pertama dari label independennya. Album yang bertitle “It’s Like Jazz” itu dibuat sebagai fee dari order manggungnya. Di album itu Laroo meramu moods, styles, dan beats dari dance music (house, hip-hop, funk, soul) dengan jazzy improvisation, horn-lines, dan freestyle rap. Ia menamakan kombinasi itu “Acid Dance Jazz”, Dance Music with Jazz atau Jazz Music untuk Dance. Debut album dengan single “Ya Know How We Do” (1995) ini mendapat respon di luar dugaan dari media dan pada penjualannya. Awalnya Laroo hanya memperhitungkan dapat menjual 1000 cd dalam satu tahun. Tapi ternyata, secara mengejutkan cd sejumlah itu habis terjual hanya dalam satu minggu dan itu berarti ia harus memenuhi permintaan order tambahan. Kejadian ini membuat langkah Laroo semakin dalam di bisnis entertaimen.
Laroo, masih mengandalkan formula yang hampir sama untuk albumnya berikutnya yang dirilis tiga tahun kemudian. Bodymusic mengukuhkan Saskia Laroo sebagai pembuat musik-musik dancable dengan sound yang groovy. Kali kedua ini ia menamakan “Rap Dance Jazz” untuk gaya musiknya. Album ini menjadi menarik dengan tampilnya Candy Dulfer dan Rosa King di beberapa tracks. Seperti pada single “Bodymusic” (1998), ketiganya melakukan reuni melaui instrumennya masing-masing. Laroo membebaskan mereka melakukan interprestasi pada lagu yang dibuatnya tanpa mempersiapkan guidance terlebih dahulu. Kemudian ia langsung merekam reaksi pertama yang ditampilkan oleh tiap musisi. Dari improvisasi spontan itu, menurutnya akan didapat sound-sound yang fresh dan sangat agreeable di album itu.
Hanya berjarak satu tahun, Laroo kembali merilis album untuk labelnya. Jazzkia (1999) merupakan era berpindahnya minat Laroo pada pure jazz trumpet music. Album ini merupakan proyek ambisius Laroo untuk menghasilkan rekaman dengan sound-sound yang pernah digunakan oleh Miles Davis di tahun 60an. Hasilnya, Jazzkia menjadi koleksi yang tidak hanya menawarkan atmosfir cool jazz dari muted miles n’trane, tapi juga berhasil mengeksplorasi variasi keragaman tunes di era bebop a la’bird’ n diz’ dalam gaya straight a head accoustic jazz. Pencapaian gemilang Saskia Laroo dapat ditemui di album ini.
Proyek Laroo selanjutnya masih bertemakan jazz kontemporer dengan mempertemukan dirinya dengan Teddy Edwards (sax) dan Ernie Andrews (vocal). Maka lahirlah album “Sunset Eyes 2000” (1999). Kreasi ketiganya menghadirkan gaya blues n’bebop di album tersebut. Tiupan Laroo pun larut dalam interaksi cross cultural itu.
Keempat album tersebut juga dapat menjelaskan bagaimana Saskia Laroo menyikapi musiknya. Keterpengaruhan dari bermacam gaya bermusik akan terlihat jelas dari album ke album yang sudah dirilis. Sebut saja: segala bentuk jazz, blues soul, funk, musik-musik karibia, amerika selatan, dan gaya-gaya musik Afrika telah menjadi inspirasi Laroo bermusik. Itu semua, seperti yang diakuinya merupakan hasil “crossover” selama ia berkecimpung di dunia musik, baik ketika jammi’n dengan bandnya atau saat menjadi musisi tamu di grup lain. Sejatinya, yang Laroo maksud “crossover” adalah apa-apa yang terjadi ketika sekumpulan orang bermain musik bersama, yaitu komunikasi antar musisi dan interaksi musisi dengan audience-nya. Saat musik dimainkan, Laroo berharap selalu terjadi transfer musical personalities dari tiap latar belakang dan talent yang berbeda, sehingga hasil akhirnya memperkaya diri tiap individu. Untuk audience-nya ia pernah berkata: “When I’m playing I like people to have good time and dance, this is how jazz started. I don’t just want to play for other musicians.” Apakah hal itu juga yang ia janjikan untuk penampilannya di Bali Jazz Festival (13-14/02) mendatang? Mari kita buktikan bersama. (*/Roullandi/WJ)