Keajaiban Interprestasi Ulang 23 Karya Musik Yovie Widianto
THE MAGICAL JOURNEY OF YOVIE WIDIANTO;
Yovie Widianto menggelar suatu paket pertunjukan yang menampilkan interprestasi ulang karyanya selama 23 tahun ia berkarir di industri musik Indonesia. Acara yang diselenggarakan di Plenary Hall JCC hari Kamis 14 September 2006 dengan tajuk A Mil Live The Magical Journey of Yovie Widianto ini dikemas spontan dengan sisipan kejutan-kejutan menarik baik oleh penampil acara maupun dari elemen pendukungnya. Spontanitas sudah dimulai dari penampil musik rhythm dasar yang dituntut tidak menghadirkan partitur diatas panggung . “Dengan itu kita akan lebih mendapatkan jiwa dari setiap lagu yang dimainkan, “ jelas Yovie. Sepertinya, improvisasi yang merupakan elemen penting dari musik jazz sedikit banyak mendapat porsi lebih dalam aransemen-aransemen Yovie malam itu.
Jazz juga yang menjadi surprise pertama ketika Anda memasuki koridor gedung pertunjukan. Bagian depan Plenary malam itu disulap menjadi ruang pamer sponsor dan bentangan red carpet. “Ruang tamu” ini ternyata dimeriahkan oleh permainan sekelompok musisi muda dari atas sebuah pangung kecil. Mereka adalah grup ARAB yang memainkan komposisi-komposisi Yovie Widianto dalam aroma straight-jazz. ARAB yang terdiri dari Ali Akbar (keyboard), Rudi Aru (akutik bass), Ari Aru (drum), dan Boyke (saksofon) menampilkan, antara lain ”Dalam Hati Saja” dan “Cukup Sudah”, dalam tempo upbeat. Improvisasi mereka pada lagu-lagu itu layaknya menyampaikan pesan kepada calon penonton bahwa Anda akan menonton pertunjukan Yovie yang berbeda dari yang lain, yaitu pertunjukan yang tidak hanya menampilkan lagu-lagu romantis Yovie Widianto.
Hal ini terbukti. Pembuka pagelaran Yovie Widianto adalah sebuah komposisi instrumental smoth-jazz ala David Foster yang memberi porsi pada Yovie berimprovisasi di piano akustiknya. Opening ini bak pernyataan Yovie akan ketertarikannya pada jazz di awal karir perjalanan bermusiknya. Elemen jazz juga menjadi jiwa pada beberapa lagu yang ditampilkan oleh penggemar Chick Corea dan David Foster ini selanjutnya tanpa membuat pertunjukkan menjadi sebuah pagelaran jazz. “Tentang Dirimu” yang dibawakan duet oleh Dea Mirela dan Sita RSD memberikan sedikit aroma swing pada aransemennya. Sita juga menyanyikan “Hangatnya Cinta” yang diaransir dengan progresi semi acid jazz. Begitu juga “Satu Mimpiku”, yang pernah dipolulerkan The Groove, malam itu dinyanyikan oleh petolan band GIGI, Armand Maulana, dengan menyisakan kesan lebih “lelaki” dari lagu versi aslinya. Rio Febrian melantunkan “Bagaimana” yang kental menampilkan irama fusion dari permainan musisi-musisi pengiringnya. Hadirnya “Bagaimana” malam itu mengingatkan bagaimana lagu itu saat dibawakan di Festival Lagu Populer Indonesia tahun 1991 dengan aransemen Elfa Secioria – yang diakui Yovie sebagai salah satu orang yang berperan besar bagi karir bermusiknya.
Tentang fusion, jika Anda penggemar komposisi karya Yovie dengan jenis musik tersebut, tentu tidak akan melewatkan interprestasi ulang dari “Pinokio”. Komposisi ini biasa digunakan sebagai pembuka panggung Kahitna, grup Yovie yang pernah memenangi penghargaan Grand Prix Winner Band Explotion di Tokyo. Tapi di malam pertunjukan itu “Pinokio” menjadi beda. Peran pendukung musik yang terdiri dari drummer Gerry Herb, gitaris Kadek Rihardika, bassis Adi Darmawan, Bambang Kahitna (keyboard), Tanto The Groove (keyboard), Edi Kemput (gitar), Iwan & Aip Wiradz (conga, timbales, bongo, perkusi) membuat rasa beda dari komposisi yang direkam untuk album ketiga Kahitna tersebut. Semangat aransemen lagu ini menjadi lebih bright dengan memberikan porsi improvisasi solo pada pada Yovie, permainan panjang biola Hendri Lamiri, dan unjuk kebolehan jelajah petikan dawai bass Adi Darmawan yang seperti sedang memainkan tunes di atas piano klasik.
Perjalanan ajaib Yovie Widianto lainnya adalah interprestasi ulang karya-karya popularnya, baik dari sisi aransemen maupun pelantun lagunya. Beberapa lagu dibawakan secara medley maupun duet, seperti Rio Febrian dan Audy yang memedleykan “Adilkah Ini”-“Nggak Ngerti”, Audy dan Dea Mirela pada “Tak 100%”-“Andai Dia Tahu”, Armand maulana dan Rio Febrian di “Bukan Untukku”-“Seandainya Aku Bisa Terbang” serta Mario Kahitna yang bertemu Dea Mirela di “Tak Kan Terganti”. Trio Indonesia Idol 2006, Gea-Ihsan-Dirly, sumbang suara di lagu wajib final mereka, “Kemenangan Hati”. Interprestasi nostalgia mencuat kala trio penyanyi Kahitna era album pertama bereuni. Ronny Waluya kembali bersama Hedi Yunus dan Carlo Saba menyanyikan “Cantik” dan dengan duo vokalis NUno, Dudi – Gail, menjadi lima bersaudara itu memedleykan “Cerita Cinta” dan “Lebih Dekat Denganmu Nanti (Juwita)”. Medley terbanyak dilakoni oleh Hedi Yunus dan Sita saat mereka mengisi jeda acara bersama Tika Panggabean. Porsi mereka sebagai perantara acara dibawakan dengan spontan dan sangat berhasil mengundang tawa penonton. Di sesi itu setidaknya mereka mereka menyanyikan potongan lagu “Untukku”, “Lebih Baik Darinya”, “Kini”, “Salahi Aku”, “Cinta Sudah Lewat”, “Sebatas Mimpi”.
Beberapa lagu membuat kejutan karena interprestasi ulang yang dibuat Yovie benar beda dari versi awalnya. Steven berhasil mendapat tepuk banyak penonton saat ia membawakan “Katakan Saja” dalam nuansa reggae yang kental. Gaya dan cengkok reggae penyanyi yang sedang naik daun bersama grup Steven & Coconuttreez ini berhasil mengalihkan ingatan dari dua versi awal lagu ini yang dibawakan oleh Harvey Malaiholo (di album Tetaplah Bersamaku, 1996) dan trio vokalis Kahitna (album Soulmate, 2006). Lalu “Cukup Sudah” yang dipopulerkan Glenn Friedly, malam itu oleh duo Wiradz Bersaudara digubah total menjadi instrumental perkusi. Tetabuhan conga Iwan – Aip Wiradz yang dibantu Cilay Percussions berhasil memanaskan suasana pertunjukkan.
Penyelenggara acara – A Mild Live Production yang bekerja sama dengan dua promotor sekaligus, Nepathya dan Merah Putih Showbiz , serta KAIn Music Entertainment tempat manajemen Yovie Widianto bernaung – sepertinya dihadapkan oleh pilihan sulit saat menentukan repertoar konser. Banyaknya masterpiece Yovie yang dihadapkan dengan keterbatasan waktu membuat pilihan akhir adalah pilihan yang penuh kompromi. Tampilan medley adalah salah satu bentuk untuk menyiasati hal tersebut. Maka jadilah 23 repertoar (yang diantaranya adalah medley beberapa lagu) ditampilkan untuk merefleksikan 23 tahun perjalanan magis bermusik Yovie Widianto. Kekurangan dari kompilasi malam itu adalah tidak adanya karya Yovie bersama Indonesia 6 – grup yang membawanya untuk pertama kali ke Light Music Contest International di Tokyo tahun 1987. Indonesia 6 yang dikenal mengambil corak latin jazz dan pop itu merilis sebuah album di tahun 1989 dengan sedikitnya tiga karya instrumental Yovie ada di dalamnya. Tentang tidak adanya masterpiece era Indonesia 6 ini, Yovie berkilah, “Memang tidak ada, tapi secara spirit (Indonesia 6) ada di tengah-tengah lagu, terutama dengan adanya permainan perkusi Iwan Wiradz (yang juga personel band itu)”. Jadi untuk Anda yang ingin bernostalgia dengan Indonesia 6, harap bersabar dan menunggu kemungkinan di kesempatan lain. Kabarnya mereka tengah siap-siap bereuni dengan karya baru.
Hal yang juga menarik dari pertunjukan malam itu adalah pilihan gimmick sebagai elemen pendukung acara. Atraksi Yovie mengarang lagu dengan tiga not dan tiga kata yang ditentukan secara acak oleh penonton adalah gimmick yang paling merebut perhatian. Yovie berhasil menjawab tantangan dengan membuat lagu dari not “si-la-re” dan kata “maaf-manis-selingkuh” dengan waktu dibawah 10”. Lagu baru dari games itu dinyanyikan Hedi Yunus dengan hanya diiringi piano akustik Yovie. Sebuah lagu romantis tipikal khas Yovie Widianto.
Gimmick lain adalah adegan dan peragaan sulap saat sebuah lagu dinyanyikan. Adegan selintas sepeda lewat di “Seandainya Bisa Terbang” berhasil mengundang tawa penonton karena mengingatkan pada scene di klip lagu itu. Namun sayang atraksi sulap yang dilakukan di beberapa lagu menjadi kurang menggigit, kemungkinan karena kurang maksimal diberi porsi. Perjalanan magis Yovie tetaplah menjadi keajaiban meski tempelan sulap itu dihilangkan.
Pagelaran yang direkam oleh satu stasiun TV itu menyajikan permainan cahaya dan backdrop yang dinamis. Mata penonton cukup dimanjakan oleh peragaan elemen yang kadang kurang diperhatikan oleh penyelenggara acara tersebut. Sayang kuping kadang terganggu oleh sound pertunjukan berkekuatan 60 ribu watt yang tiba-tiba membesar pada salah satu instrumen. Lepas dari hal-hal luput tersebut, pertunjukan yang ide acaranya telah dirintis dari skala kafe dua/tiga tahun lalu dan kemudian dilanjutkan sewaktu rekaman TV peluncuran album The Potrait of Yovie (dengan musisi pendukung yang hampir sama) ini berhasil memberikan hiburan segar pada penonton yang datang – terutama bagi pencinta karya-karya pria kelahiran 21 Januari 1968 itu. Selamat untuk Yovie Widianto, tetap berkarya dan kami menunggu keajaiban apa yang akan ditampilkan di perjalanan ke-24, 25, 26, … nanti.