Jaga Jazzist – The Stix
Awalnya dari piringan 78s menjadi Long Plays (LP), di mana teknologi ikut berperan serta untuk membentangkan improvisasi musik jazz lebih luas lagi. Sampai akhirnya ketika memasuki era fusion, berbagai warna musik mulai merambat naik ke permukaan dengan penambahan berbagai peralatan teknologi baru seperti keyboard, synthesizer, midi dan sampler. Saat ini, kita hidup dalam jaman serba komputer. Di mana hampir dalam setiap aspek kehidupan kita sudah tersentuh oleh teknologi.
Meskipun pelan tapi pasti, musik jazz mulai membuka dirinya untuk berkerjasama dengan microprocessor yang semakin canggih. Sudah banyak musisi kreatif yang mencoba untuk beradaptasi dengannya. Mereka mencari warna baru dengan mempertemukan antara peran komputer dan panasnya improvisasi musik jazz. Sekaligus juga mendobrak pendefinisian dan batasan – batasan musik jazz yang usang.
Beberapa musisi yang tertarik dalam gaya ini seperti Dave Douglas, Matthew Shipp, Nils Petter Molvaer, Spring Heel Jack dan masih banyak lagi yang semuanya bicara dengan lantang atau malu – malu tentang kenyataan pilihan dalam musik jazz dalam sebuah dunia post-electronica. Belakangan juga sempat muncul istilah jazztronica.
Salah satu eksponen pendukung jazztronica yang populer di Eropa adalah kelompok Jaga Jazzist. Formasinya mirip sebuah big band, paling tidak mereka beranggotakan kurang lebih sepuluh orang. Instrumentasinya pun sekilas juga mirip orkestra. Ada pemain gitar, saxophone, trumpet, flute, bass klarinet, tuba sampai vibraphone. Tetapi di sela – sela instrument “klasik” tersebut, peralatan eletroktronis juga berserakan. Dari synthesizer, sampling, loop sampai laptop. Semua instrument tersebut, menjadi bagian yang penting untuk sarana berimprovisasi.
Jaga Jazzist sendiri muncul pada sekitar tahun 1994 dari kawasan Skandinavia, tepatnya Norwegia. Sudah banyak album, single, edisi khusus atau kemasan remix yang pernah dihasilkan. Kalau dihitung sudah ada puluhan album. Berbagai penghargaan pun sudah berhasil diraih.
Kali ini kita akan menyimak salah satu album mereka yang syarat akan keterlibatan instrument elektroniknya di samping instrument konvensional lain, “The Stix”. Album ini sendiri diterbitkan pada tahun 2003. Saat ini, kita seolah – olah sedang menyimak sebuah kelompok semacam Stereolab atau pun Aphex Twins namun dengan semangat dan bahasa improvisasi musik jazz.
Dibuka dengan permainan vibraphone Mathias Eick dalam tembang ‘Kitty Wu’. Kemudian da banyak lapisan suara yang menyusul. Bass klarinet cukup mendominasi dengan membaca nada – nada rendah sebagai fondasinya dan diiringi dengan broken beat drum elektronik yang disertai dengan berbagai efek elektronik serta instrument tiup lain. Corak drum elektronik dalam tembang ‘Day’ semakin berdentum bak suasana clubbing. Tembang ketiga, ‘Another Day’, langsung menyambut dengan menambah aksen bass yang terasa membuat kita serasa di awang – awang. Ada nuansa psikadelik dalam tembang tersebut. Ada juga sebagian kritisi musik malah menyebut suasana ini dengan istilah neo-psychedelic. Melodi dalam tembang ‘Suomi Finland’, seakan sudah akrab dengan telinga kita. Barangkali mirip – mirip dengan musik tradisional dari Sunda namun nafasnya malah seperti musik rock.
‘Reminders’ sepertinya menjadi sebuah sajian komposisi yang cukup komplek. Ada penonjolan aransemen yang cantik dengan gerak dinamika yang anggun. Di sini ada semacam percakapan hangat di antara beberapa instrument akustik dan elektronis. Dalam ‘Toxic Dart’ dan ‘Doppleganger’ yang menonjol adalah berbagai improvisasi efek elektronisnya. ‘I Could Have Killed Him in the Sauna’ cenderung bernuansa musik rock yang diramu dengan berbagai efek elektronis. Komposisi ini sendiri menarik untuk disimak. Pada bagian penutup, ‘The Stix’, membuat kita membayangkan akan beberapa koleksi funk a la Miles Davis di awal dekade 1970an terutama dengan album “On the Corner” yang digabungkan dengan Weather Report.
Penampilan mereka bagaikan sebuah orkes yang canggih. Kalau kita menyebutnya sebagai big band / orkestra, tentunya tidak akan sama persis dengan banyak big band di masa lalu. Lapisan warna musikal di sini memang lebih kaya. Mengingat potensi dan karakter instrument akustik dan elektonik disinergikan dengan kreatif sehingga membentuk sebuah sajian yang terkesan futuristik. Ada bagian konvensionalnya dan juga tidak menutup mata dengan manipulasi bunyi elektronik. Barangkali kalau saat ini Charles Mingus masih aktif, mungkin dia akan mengajak Jaga Jazzist untuk bermain bersama.
JAGA JAZZIST – THE STIX Ninja Tune, 2003
Komposisi:
1. Kitty Wu
2. Day
3. Another Day
4. Suomi Finland
5. Aerial Bright Dark Round
6. Reminders
7. Toxic Dart
8. I Could Have Killed Him in the Sauna
9. Doppleganger
10. The Stix.
Musisi :
Mathias Eick (trumpet, bass, keyboards, vibraphone), Harald Froland (gitar & effects), Even Ormestad (bass, keyboards), Andreas Mjos (vibraphone, drums, perkusi, electronics), Line Horntveth (tuba, melodika, perkusi), Martin Horntveth (drums, drum machines), Lars Horntveth (tenor saxophone, bass klarinet, electric gitar), Andreas Schei (keyboards), Ketin Einarsen (flute, bass klarinet, perkusi, keyboards), Lars Wabo (trombone).
Link terkait:
- CATATAN DARI MOSAIC MUSIC FESTIVAL 2007
JAGA JAZZIST: MENIKMATI MUSIK TANPA KATEGORI