Review

Krakatau – 2 Worlds

Dalam dunia barat, istilah “World Music” sering mengacu kepada musik yang bukan muncul dari belahan Amerika Utara atau pun Eropa, baik itu musik populer, folk dan klasik. Sementara musik reggae dan latin sudah mempunyai sebutan tersendiri untuk genre tersebut. Jadi, world music tertuju ke semua jenis musik yang ada di dunia ini yang tidak disebut diatas. Berbagai keanekaragaman kesenian tradisional dari wilayah di benua Asia, Australia, Afrika dan Amerika Selatan sering dikategorikan sebagai world music. Sering kali juga, penggunaan istilah world music ini banyak mengundang perdebatan ahli musik dan bahkan para sosiolog.

Dalam perkembangannya, muncul istilah worldbeat. Worldbeat dan world music mempunyai sentuhan yang sedikit berbeda. Worldbeat lebih mengacu kepada sebuah bentuk kesenian yang merupakan campuran atau hibrida dari berbagai unsur dan bentuk kesenian yang berbeda sehingga menghasilkan sebuah sajian yang unik dan menantang. Dengan adanya istilah ini, para musisi di dunia ini dapat saling pinjam dengan sebuah gaya tertentu, karakter suara dan instrumentasinya. Namun worldbeat ini sendiri masih sering dikategorikan sebagai salah satu bagian dari world music.

Perkembangan selanjutnya, muncul istilah world fusion. Istilah ini sering digunakan untuk memberi gambaran terhadap sebuah percampuran musik dari “Dunia Ketiga”. Atau sering disebut sebaai campuran antara world music dengan jazz. Biasanya, dalam sebagian kesempatan sering diisi dengan solo improvisasi khas musik jazz.

Album “2 Worlds” milik Krakatau ini barangkali merupakan sebuah kerangka jembatan untuk menghubungkan antara dua dunia, musik etnis dari beberapa daerah di Indonesia dan jazz. Memang bukan sebuah hal yang baru, baik secara umum maupun bagi Krakatau sendiri. Dalam beberapa album sebelumnya Krakatau juga banyak basah kuyub dalam kancah world fusion tersebut. Namun semangat ini masih cukup menyala terang dalam upaya untuk terus mencari jati diri Krakatau dalam menjelajahi lautan inspirasi dalam bermusik.

Sebagian komposisi dalam album ini sendiri dikerjakan ketika mereka tampil dalam rangkaian konser kelilingnya di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2005. Dalam kesempatan tersebut, Krakatau juga mengajak beberapa rekan musisi asing dari Kanada, Amerika Serikat dan Italia. Mereka ikut tampil dan berbaur dalam menampilkan kemampuannya. Sepertinya juga mereka mencoba untuk menikmati warna dan groove yang barangkali asing bagi musisi luar.

Album ini juga menandakan untuk pertama kalinya seorang ahli musik etnis dan sekaligus vocalis Ubiet bergabung dengan Krakatau. Ubiet tampil dalam ‘Bunga Tembaga’, ‘Double Band’ dan ‘Perahu’. Penampilannya semakin memperkaya Krakatau dalam mengeksplorasi kekayaan musik.

Dibandingkan dengan dua album sebelumnya yang mempunyai nilai estetis yang sama, “Mystical Mist” (1994) dan “Magical Match” (2000), sekilas album ini memang sedikit lebih terasa nuansa Baratnya. Barangkali hal ini terjadi karena adanya “percakapan” antara kedua kelompok musisi yang berlainan latar belakang tradisi tersebut. Seperti penampilan Carlo Actis Dato dalam bermain baritone saxophone di tembang ‘Actis Baritone Funk’ yang sangat mempengaruhi warna komposisi ini secara keseluruhan. Namun tidak dapat dipungkiri kalau kekuatan Krakatau sendiri memang memukau. Krakatau berhasil memberi fondasi yang kuat dalam menyediakan ruang berekspresi untuk para musisi tamunya.

Penampilan Howard Levy dalam bermain harmonica di 2 komposisi, ‘Levy’s Groove’ dan ‘Swing In S’lendro’, begitu mulus yang seolah – olah tidak ada hambatan yang berarti. Krakatau sendiri tidak merasa jengah dalam menampilkan modifikasi salendro dalam irama swing. ‘Pine Crescent Jamz’ tampil dengan sentuhan jazz rock dan etnis dengan kehadiran gitaris Reg Schwagger yang mirip gayanya dengan gitaris Scott Henderson. Ada juga nuansa rekaman ECM seperti dalam komposisi ‘Madenda Fantasy’ dengan mengetengahkan pianis Kanada Ron Davis dan Yoyon Dharsono pada suling Sunda. Atau dalam ‘Suling Bodas’, menampilkan Andrew Timman yang justru bermain suling.  Penampilan mereka bak musik kamar khas Eropa.

Percakapan menarik antara kang Yoyon (tarumpet) dan John Loach membuka komposisi yang sama judulnya dengan album ini, menjadi simbol persahabatan dan interaksi antara 2 dunia yang berlainan tradisi. ‘Double Band’ ditampilkan memang porsi ganda antara Krakatau bersama Carlo Actis Dato (bass klarinet), Massimo Rosi  (alto & soprano sax), Karsten Lipp (electric bass), Federico Marchesano (electric guitar) dan Dario Bruna (drum kit). Kesempatan ini lebih mirip menjadi sebuah jam sessions yang memukau penonton.

Dalam wacana teknis, barangkali sebenarnya yang terjadi adalah gaya tarik menarik pengaruh antara 2 gaya musik yang berlainan. Seperti bandul pendulum, secara bergantian bergerak ke arah Barat dan Timur. Medan magnetis gaya tersebut jelas sangat dipengaruhi oleh kreasi para musisi yang tampil.

KRAKATAU2 WORLDS
Musikita, 2006

Komposisi:
Levy’s Groove
Actis Baritone Funk
Bunga Tembaga
Swing in S’lendro
Pine Crescent Jamz
Madenda Fantasy
Two Worlds
Suling Bodas (White Bamboo Flute)
Double Bands ‘Live’
Perahu
Bancak Pakeweuh

Musisi :
Pra Budi Dharma (slendro fretless bass); Dwiki Dharmawan (keyboard); Ade Rudiana (kendang & perkusi); Yoyon Dharsono (rebab, suling & tarompet); Zainal Arifin (gamelan & perkusi); Gerry Herb (drums); Ubiet (voice);

Musisi tamu:
Ron Davis (piano); Reg Schwagger (guitar); Howard Levy (blues harmonica); Carlo Actis Dato (tenor & baritone sax, bass klarinet); John Loach (flugelhorn); Andrew Timman (suling); Massimo Rosi (alto & soprano sax); Karsten Lipp (electric bass); Federico Marchesano (electric guitar); Dario Bruna (drum kit); Mr Q (alto recorder).

Ceto Mundiarso

Pencinta buku yang banyak menelisik filosofi. Pernah menghadiri Konferensi Ekonomi Kreatif di Inggris. Merupakan bagian penting pada riset di WartaJazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker