Review

Kilas Balik JavaJazz: Bulan di Asia

“Bulan di Asia” (judul asli album pertama yang terlanjur populer sebagai “Bulan di Atas Asia”) adalah masterpiece, rohnya selalu siap untuk terjaga kembali dalam nafas baru setiap kalinya. Pesona melodi piccolo mendiang Embong Rahardjo mengabadikan komposisi ini sebagai signature JavaJazz. Indra Lesmana memang ingin mewujudkan konsep mengoleksi laras pentatonik berbagai belahan Asia. Dalam rekaman pertamanya, tiupan piccolo Embong diimbuhi banjo (terdengar seperti kecapi Gu Qin) yang mengentalkan nuansa mandarin. Tiongkok berbagi dengan Sunda, sementara dengan adil, kesan kotekan Bali mengiringi langkah penari juga tertangkap saat Indra memblok piano untuk ulangan terakhir fragmen pentatonik tersebut.

Gendang-gendut perkusi Ron Reeves menggenapi detil “Bulan di Asia” versi awal ini. Lanskap solo dihamparkan dengan memainkan nyala-redupnya iringan di atas ritme ride-cymbal rapat, berlapis, bersilang-denyut dari kedua tangan bebas Cendi Luntungan. Drummer akrobatik ini memang tak bakal menemui kesulitan mengeksekusi pola beraksen intensif seperti itu yang juga terdengar pada nomer-nomer lainnya. Namun, saat lagu ini beroleh kesempatan kedua (album “Sabda Prana” – 1998), kualitas seorang Gilang Ramadhan sukses mempertajam genderang tom-tom (yang sama-sama membantu mencirikan lagu ini) ke dalam gagasan akan tetabuhan suku-suku primordial. Selain dua drummer, dua gitaris juga pernah diberi kesempatan memberi nafas komposisi ini. Kesempatan pertama diambil solo elektrik Dewa Budjana. Donny Suhendra menyusul berikutnya secara akustik tetapi tidak pada ruang yang sama, bahkan pada bridge yang sama sekali baru untuk lagu yang telah menjadi di-atas-Asia pada 1998.

Dalam “The Seeker”, tiupan flute Embong meramu lompatan intervalik yang menggugah nyala riang pendengarnya, sementara Indra menyajikan permainan bergelombang seperti yang ditemukan juga dalam “Matahari” yang dibuka getar didgeridoo. Agaknya voicing bertema big-sound semacam itu menjadi pilihan yang dominan pada diskografi perdana JavaJazz ini. Coba tengok saja “Mencari Yang Tiada“, yang menyisipkan narasi musikal Indra Lesmana dalam bunyi sintetik bercita berat, ataupun persembahan epik untuk Jack Lesmana dalam himne “Crystal Sky”.

Kontribusi Ron Reeves dalam JavaJazz sangat masuk akal mengingat pertalian keduanya (Ron dan Indra) pada periode itu di kelompok gamelan (plus pemain jazz), Warogus, yang kemudian bertransformasi menjadi Earth Music dan merilis “Metamorfosa” (1998). Sementara itu, pilihan Jeffrey Tahalele (bass akustik) dalam karakter peritme yang low-profile pas menyeimbangkan simetri gemintang personil-personil grup ini.

Watak Budjana di rekaman ini diwakili oleh solo “keluar-tempo” pada swing “I Wish”, lengkap dengan manipulasi ekspresi volume dan lekak-lekuk fals tremolo. Aroma progresif dan free seperti penggalan tadi malah direproduksi secara kolektif pada “Drama”. Di situ, Budjana segera dihadang alto Embong dan piano Indra yang menjaga trek. Walaupun begitu, permainan balada cantik maupun jurus bebop tetap hadir simultan di album double-cassettes ini seperti halnya diperagakan anggota JavaJazz lainnya secara seimbang. Karena jazz, musik tradisi Amerika, adalah rumah mereka sebagaimana “Home Sweet Home” mendeskripsikan hangat dan nyamannya berbahasa ibu (jazz klasik).

Bulan di Asia (Boulevard/Jamz – 1994)

1. Bulan di Asia
2. Lembah
3. Mataharimu
4. The Seeker
5. Drama
6. I Wish
7. Crystal Sky
8. Mencari Yang Tiada
9. Home Sweet Home
10. Kehidupan

2 Comments

  1. Mestinya di remaster album ini dan dijadikan CD,
    kaset yang saya punya sudah rusak krn saya putar entah berapa kali.
    Absolute Masterpiece… setuju.

  2. saya selalu menantikan kabar serta rekaman terbaru dari kelompok ini
    setuju absolute masterpiece terlebih dahulu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker