Bandanaira: Dua Jelita & Pesona Abadi Indonesia

Bandanaira – The Journey of Indonesia (R.P.M. Records – 2009)

1. Indonesia Pusaka
2. Cinta Indonesia
3. Sepasang Mata Bola
4. Maju Tak Gentar
5. Payung Fantasi
6. Di Bawah Sinar Bulan Purnama
7. Sersan Mayorku
8. Ibu Kita Kartini
9. Desaku
10. Hari Merdeka
11. Indonesia Raya

Melebihi jamannya, di balik bait muda-mudi patriotik, komponis Ismail Marzuki ternyata membuka luas peluang interpretasi musikal dari gubahan-gubahannya. Tidak diberikan dengan cuma-cuma, nalar kreasi yang matang menjadi syarat yang wajib disetor di muka. Album “The Journey of Indonesia” mencoba kesempatan emas itu menyertakan pula karya abadi L. Manik, Maladi, C. Simandjuntak, W.R. Supratman, H. Mutahar hingga Guruh Soekarno Putra.

***

Duet Piano-Vokal Bandanaira

Ada kesan noir dari citra penyanyi solo yang bersanding anggun dengan pemain piano tunggal. Atribut minimalistik yang melambungkan ingatan kita pada crooning beriringkan piano stride dari Édith Piaf (legenda pemilik “La Vie En Rose”). Piaf menarasikan “Milord” dalam gestur monolog mendongak, menghayati drama rayuan lagu 1950-an tersebut. Saat kisah “Sersan Mayorku” meluncur, derap boom-chick klasik serupa itu dipercepat pianis Irsa Destiwi, bergegas-gegas temani gesekan country violin Tengku Ryo Riezqan. Maka, makin menjadilah drama tempo dulu menantu-pilot-gagah-idaman itu dibawakan gemas Lea Simanjuntak, komplit dengan latar riuh teatrikal bala-bantuan The Jakarta Broadway Singers.

Resep sedap Bandanaira rahasianya memang terletak di racikan groove Irsa dan cita suara tebal Lea. Pada hitungan baris-berbaris “Maju Tak Gentar” menyelinap imposisi ritme lain yang menjadikan senandung menghalau-rasa-gentar terdengar beda. Bayangan lenggak-lenggok gadis berlindung dari terik dalam “Payung Fantasi” pun jadi berubah setelah dibalut irama provokatif. Lea pun kerap meluncurkan aksen-aksen improvisasi bernaluri blues seperti juga dijajalnya pada “Indonesia Pusaka”.

Duet ini diperkuat permainan perkusif upright bass Doni Sundjoyo yang tampil solid bersama Philippe Ciminato. Mereka tekun membangun atmosfer “Sepasang Mata Bola”, seolah memindahkan kabut malam Bourbon Street ke tengah-tengah hampir-malam-di-Yogya, udu yang berpantulan dengan bass melebur serasi dengan lirih muted-trumpet Indra Artie Dauna. Ekspresi urban samba “Cinta Indonesia” pun mulus dihidupkan tim ritme ini.

Bandanaira, mengambil nama salah satu pulau perairan Maluku, bukan sekedar turut menamai diri dengan nama tapak geografis (yang pernah dilakukan Karimata, Krakatau atau Halmahera), dua jelita ini membawakan yang paling mungkin dari duet vokal-piano ketika menghidupkan pesona abadi para penggubah Indonesia.

Exit mobile version