Tao Kombo – Collective Messkeepers
![](https://wartajazz.com/wp-content/uploads/2010/07/tao-kombo-collective-masskeeper.jpg)
Kuintet jazz modern yang bermarkas lintas Indonesia-Perancis ini punya konsep serius dalam menyampaikan ide-ide musikalnya. Tao Kombo, terdiri atas seorang Frenchman Philippe Ciminato (perkusi) dan empat musikus Nusantara, Dionysus Janapria (gitar), Donny Sundjoyo (kontrabas), Ali Akbar Sugiri (piano, Fender rhodes, moog, keyboards) serta Rayendra Sunito (drum) mencoba untuk menyajikan jazz bergaya eklektik-eksperimental pada album perdana Collective Messkeepers.
Mengagumkan, ketika mendapati preferensi musikal band ini yang sangat ekstensif seolah ingin mendobrak batas kerangka berpikir musik konvensional. Pada album berisi tujuh komposisi orisinil tersebut, terlihat upaya Tao Kombo untuk merengkuh pelbagai acuan musik mulai dari jazz tradisional, rock, latin, hingga avant-garde maupun free jazz dengan olah improvisasi konseptual. Untunglah kelimanya merupakan musisi bertaraf mahir, jika tidak, akan konyol jadinya.
Trek pertama “Golden Mask” dicirikan lewat permainan ostinato kontrabas dalam sukat hitungan tujuh yang memberikan denyut tersendiri. Tak lama berselang, suara gitar kemudian membaur bersama derakkan drum dan perkusi serta pondasi harmoni melalui Fender Rhodes yang berjalan mantap hingga akhirnya. Garangnya musik rock turut diwakilkan dalam “POI” yang kemungkinan adalah singkatan dari Point of Interest. Menyimak nomor ini rasanya seperti sebuah pemacu adrenalin yang mampu membuat para headbangers tak ragu untuk mengguncang kepala ikuti irama.
Menjadi substansial ketika mengusut tendensi penerapan etika Taoisme dalam proses berkarya band ini. Secara eksplisit, hal itu terbaca jelas pada nama yang dipilih, “Tao” dan “Kombo”. Menurut situs resmi Tao Kombo di MySpace, prinsip Taoisme yang ingin mereka suarakan adalah “konsep keseimbangan lewat garapan musik untuk berbagi gaung positif mewakilkan harmoni atas dasar perbedaan yang menyatukan.” Prinsip tersebut sepertinya dapat disandingkan dengan falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang kini semakin ditinggalkan.
Tafsir atas Taoisme secara kontemplatif disampaikan dalam “Jour De Fate… Pour Fede” yang diawali dentingan bel seolah ingin membuka sebuah ritus. Pada trek ini terdengar gesekan kontrabas memberi efek meditatif. Sayup terasa pula nuansa tango nuevo khas Astor Piazzolla. Adalah masuk akal sewaktu band ini menyebut nama Arnold Schoenberg sebagai pengaruh. Coba simak komposisi berdurasi hampir 14 menit, “Harvey’s Blues” yang dalam beberapa seksi bergaya dodekafonis. Acuan lainnya pada nomor ini adalah musik aleatorik John Cage yang mengalir dalam balutan harmoni The Bad Plus ataupun Medeski, Martin, and Wood dengan grafik tensi yang fluktuatif. Tak ketinggalan, disematkan juga sajian improvisasi bebas yang mengarah ke teritori free jazz.
Rentak irama energik repetitif mengawali komposisi “Queen of Convenience” yang mengajak pendengarnya masuk ke dalam kondisi trance dan selanjutnya dibelokkan kepada manisnya sentuhan ballad. Sehabis ballad, secara gradual tensi kembali dinaikkan hingga klimaksnya pada akhir komposisi.
Komposisi terakhir, “Nomad’s Ride” mengembalikan kecintaan Tao Kombo atas musik latin, dan di sinilah terlihat aksi Philippe yang memukau, ia tampil habis-habisan menghajar instrumen perkusinya. Selain itu, ada pula dialog improvisatoris antara gitar dan piano menambah daya pikat band ini.
Butuh nyali besar dan keahlian spesifik untuk dapat mengkomunikasikan garapan musik yang sifatnya progresif, khususnya dalam geliat permusikan tanah air. Jelaslah bahwa Tao Kombo memiliki kualitas tersebut, dan salut untuk mereka.