Review

Trio Vijay Iyer, Prasanna, dan Nitin Mitta – Tirtha

Jikalah terdapat subgenre Jazz India, maka gitaris Prasanna akan berada di gerbong terdepannya berbekal akar Karnatik.

Saat pianis Vijay Ayer yang dibesarkan di New York mengundangnya, sudah dapat diprediksikan bahasa musik mana yang akan dominan. Tak sekedar semburat tipis, intensitas nomer perkenalan “Duality“, ataupun “Gauntlet” di tengah, adalah reinkarnasi India klasik. Wajah kaku rāga ternyata tak kontra terhadap improvisasi cemerlang.

Tribal Wisdom” adalah contohnya, disiplin ketat berjumpa kreasi bebas. Panduan silabel perkusif yang mengalir dari mulut Prasanna pada intro menjadi pondasi ketukan, tubuh musik yang dikenal dengan istilah taal (tālà). Di tengah rapat dialog piano-gitar rilis ini, pukulan tabla Nitin Mitta menakar akurat perjalanan ritmik setiap lagu.

Komposisi tajuk album “Tirtha” betul-betul dibuka mengalir, seolah semakin dekat seberang air, perlahan-lahan nampaklah nirwana. Namun, seleksi Iyer yang sering berat ke sisi kiri piano selalu menggiring kesan tidak santai, impresi yang sama dari mendengarkan tango atau flamenco dari keluarga minor. Musisi jazz dengan gelar fisika dan matematika ini sempat mengambil doktoral di bidang teknologi dan seni dari UC Berkeley untuk kemudian mengejar ketertarikannya pada jazz sebagai pemain. Ia menegaskan bahwa yang dimainkan mereka bukanlah musik India. Piano secara alamiah tidak bisa membunyikan legato khas raga, alias ornamentasi liuk nada yang disebut gamaka; ini relatif penting ketimbang jadi elemen dekoratif belaka. Kendati begitu, piano tetap bisa punya pendekatan lain. Walhasil, trio kontemporer ini tetaplah terdengar bermuara ke musik India, terlebih dengan kehadiran dua musisi natif lainnya.

Adalah Prasanna yang mengaplikasikan gamaka pada gitar listrik moderen, bahkan pada “Remembrance” yang tergolong ballad tipikal jazz. Ia menerangkannya cukup dalam saat memandu klinik musik pada Java Jazz Festival 2009 lalu (WartaJazz mengulasnya di sini). Ballad lain adalah “Abundance” yang diimbuhi lirik dari nama-nama notasi/ sargam: “sa re ga ma pa … “. Nomer ballad yang paling menarik sekaligus berwarna cerah justru ada di belakang dengan judul “Entropy and Time“. Di bawah sugesti kalemnya tak terasa terselip kontraksi ritme.

***

Dalam sebuah produksi BBC, penabuh tabla ternama Zakir Hussain pernah berujar, “Adalah tradisi India Selatan pula untuk mengijinkan pemain mridangam, gatham atau kanjira untuk peroleh giliran solo; atau malah jazz di mana semua pemain meninggalkan drummer bermain hingga semua kembali masuk lagi dan menyudahinya.” Melihat persamaan tersebut, persoalan subgenre yang disebutkan di awal kira-kira bisa disikapi sebagai masalah titik temu dan sudut pandang.

Tirtha
(ACT Music, 2011):

1. Duality
2. Tribal Wisdom
3. Tirtha
4. Abundance
5. Falsehood
6. Gauntlet
7. Polytheism
8. Remembrance
9. Entropy and Time

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker