FestivalNews

TAROMPET YANG MEMBIUS PENONTON

Dari Penampilan Krakatau di Gedung Kesenian Jakarta International Festival ke-VII
Inilah kali pertama penampilan kelompok yang memiliki tagline baru “Karawitan within the progression of Modern Sound”, Krakatau didepan publik sendiri dengan formasi anyar dan fresh setelah kepulangan mereka dari Tur Amerika yang berakhir di New York Agustus silam. Penikmat jazz Indonesia memang ‘jarang’ dijamu oleh Krakatau, lantaran lebih sering manggung Negeri orang.

Kelompok yang digawangi Dwiki Darmawan (Micro-tuned keyboard dan Synthesizer), Pra Budidharma (Slendro Fretless Bass), Adhe Rudiana (kendang, perkusi, simbal), Yoyon Darsono (rebab, suling, tarompet, voice), Zainal Arifin(bonang, kecapi, perkusi, voice), dan Gerry Herb(drum) serta Ubiet (voice) memukau penonton yang memadati Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (01/9) lalu.

Pertunjukan dibuka dengan ‘Bubuka-Bancang Pakewuh’, nomor standar yang juga disajikan tatkala mereka Tur ke US dan Kanada yang kemudian di lanjut dengan sebuah lagu baru dari Chicago. Lagu yang digarap disela-sela tur mereka sebelum manggung di Chicago Cultural Centre ini direkam di sebuah studio bernama Steve Ford Music.

Istimewanya adalah pada saat lagu ini dikerjakan, seorang peniup harmonika kenamaan asal Chicago, Howard Levy ikut terlibat. Spontanitas yang terbangun dari interpretasi Howard terhadap gamelan dan gaya bermusik Krakatau, seolah ingin di hadirkan Dwiki kembali ke pentas yang ditata dengan nuansa warna hitam. (Red: baca juga tulisan Alfred Ticoalu mengenai Howard Levy).

Usai memperkenalkan anggota band satu persatu, Krakatau melanjutkan penampilannya dengan sebuah lagu baru lain bertitel “Sibur-Sibur” yang dirangkai Shufflendang dan “Tugu Hegar” yang diambil dari album Magical Match dan Mystical Mist.

Usai jeda kurang lebih lima belas menit, panggung yang masih tertutup, ditambah lampu-lampu yang dimatikan memusatkan konsentrasi penonton pada voice dan vokal Ubiet pada lagu ‘Uhang Jaeuhsebuah lagu dari kaki gunung Kerinci. Perlahan tenda dibuka dan sesekali terdengar suara-suara personil Krakatau yang lain bergumam “….uhang jauh, jangan dikenang……”.

Lagu ini merupakan salah satu yang dimasukan dalam reportoar standar Krakatau tatkala tur ke Amerika kemarin. Ubiet yang saat ini merupakan kandidat doktor di University of Wisconsin, berhasil mengintegrasikan warna vokalnya yang khas kedalam kelompok Krakatau, sehingga menjadi salah satu kekuatan.

Setelah lagu yang bertempo agak pelan ini, penonton diajak ngefunk lewat nomor ‘Egrank Funk” yang kemudian dirangkai dengan Shufflendro dan sebuah lagu baru lain “Bunga Tembaga”. Lirik lagu ini diambil dari pulau Rote.

Usai lagu ini, Dwiki lantas mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak termasuk Gedung Kesenian Jakarta yang telah mengundang mereka, sekaligus mempersembahkan lagu berikutnya ‘Genjring Party’. Emosi penonton yang semakin tinggi terpuaskan ketika lagu encore ‘Rhythm of Reformation’ disajikan.

Yang menarik pada lagu ini, penonton disuguhi permainan solo berbagai alat musik yang ada. Mulai dari rebana yang dimainkan unison atau solo Bonang, bass, keyboard atau drum. Salah satu yang menarik pada penampilan Krakatau malam itu adalah permainan Tarompet Kang Yoyon (demikian ia akrab disapa).

Kang Yoyon menyajikan kebolehannya melakukan circular breathing, yakni meniup sambil menghirup udara. Tepuk tangan dan suara riuh-rendah penonton ditujukan padanya, ketika ia meniup tarompet tak henti-henti, dan sesekali terdengar suara personil Krakatau yang lain berteriak “‘Terus…..terus……terus…….”. Penontonpun seolah terbius, sampai-sampai ikut menahan nafas, hingga Kang Yoyon sembari bercanda, melepaskan beban yang ada di dada-nya.

Selanjutnya tarompet yang terdiri dari 5 bagian itu lantas dimainkannya dengan cara melepaskan bagian-bagian tersebut sehingga menghasilkan suara dengan nada dan irama yang berbeda. Tak cukup itu ia bahkan meletakkan empet – bagian atas dari tarompet yang terbuat dari daun kelapa – didalam mulutnya, dan kemudian memainkannya sehingga terkadang terdengar seperti bayi yang lagi menangis atau suara-suara lainnya. Terakhir ia bersiul, sebagai salah satu upayanya berimprovisasi.

Tepuk tangan tak henti-henti diberikan penonton hingga permainan kelompok Krakatau selesai. Sesaat setelah pertunjukan usai, di pintu keluar, kami menemui sejumlah penonton dan terucap kata-kata ‘Kami bangga Indonesia punya kelompok seperti Krakatau’. Semoga menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin memajukan musik khususnya jazz di negeri ini.

Agus Setiawan Basuni

Pernah meliput Montreux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, Chicago Blues Festival, Mosaic Music Festival Singapura, Hua Hin Jazz Festival Thailand, dan banyak festival lain diberbagai belahan dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker