NewsOpini Jazz

Jazz rasa Millenials

Psikolog Jean Twenge menjelaskan Millennials sebagai “Generation Me”. Generasi ini umumnya akrab dengan komunikasi, media, dan teknologi digital.

Tak ada patokan yang pasti soal range usia mereka, namun umumnya para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.

Melihat komposisi para penampil ajang festival seperti Java Jazz Festival misalnya kita mendapati fakta bahwa sejumlah nama yang mulai bergeser memenuhi hasrat Generasi Millenials.

WartaJazz mencatat kelompok macam GoGo Penguins, Moonchild, H.E.R, Gretcen Parlato, Knower, Louis Cole dan sederet nama lainnya yang asing di kalangan jazz aficionados senior, namun melihat jumlah penonton yang memenuhi ruangan, sepertinya menunjukkan pola seperti yang sudah diprediksi, mereka mulai diakrabi oleh generasi Millenials.

Artikel The American Conservative menyebut para millenials di Amerika genrasi yang kehilangan Jazz, sementara majalah mode VanityFair malah mengangkat nama-nama Millenials in Jazz dalam artikel daring mereka.

Dunia Jazz kini sedang berada dalam proses peralihan generasi millenials yang menjadi penyuplai karya ke pasar baik yang sifatnya populer dan professional, ataupun yang sifatnya sebagai pasar atau penikmat yang perkembangannya masih sporadis diberbagai belahan dunia.

Artikel Vanity Fair menyebut sejumlah nama antara lain Esperanza Spalding, Trombone Shorty, dan Cécile McLorin Salvant yang menurut mereka berhasil membawa jazz menemukan rhythm yang baru. 

Simak artikel di Vanity Fair: These Millennials Are Shaking Up the Jazz World

Artikel ini melewatkan sejumlah nama Edmar Castañeda, Alexis Cole, Jamie Cullum, Robert Glasper, Mary Halvorson, Hiromi, Derrick Hodge, José James, Irvin Mayfield, Gretchen Parlato, Jenny Scheinman, Marcus Strickland, Sachal Vasandani, Warren Wolf, dan Miguel Zenón, Anat Cohen dan Jason Moran yang justru sudah masuk di usia 30-40-an.

Dan VF menyoroti nama-nama baru yang sama sekali berbeda, seperti vocalist Martina DaSilva, Jazzmeia Horn, dan Milton Suggs. Lalu ada Michael Mwenso dan young lions collectivenya; Jamison Ross (vokalis sekaligus drummer); flutist-vocalist Elena Pinderhughes; dand singer-songwriters Kat Edmonson dan Kate Davis (yang juga main bass).

Dijajaran strings, ada bassis Luques Curtis, Linda Oh, dan Russell Hall, serta violinis Aaron Weinstein, lalu gitaris Gilad Hekselman ( Israel), Pasquale Grasso (Italia), dan pada electric bass, Tal Wilkenfeld (Australia).

Simak artikel di Vanity Fair: The Jazz Youth-Quake: Others on the Upswing

Daftarnya masih panjang dengan nama lain di alat tiup seperti dari Italy Francesco Cafiso (alto sax), Lakecia Benjamin (alto), Hailey Niswanger (soprano dan alto sax), Tivon Pennicott (tenor), dan  Evan Arntzen (clarinet dan sax) asal Kanada.

Sudah barang tentu daftar itu memuat juga nama pianis Joey Alexander, 2 kali nominator Grammy Awards, asal Bali Indonesia yang kini mukim di New York.

Beberapa nama diatas mungkin masih asing buat kita di Indonesia. Tapi percayalah ini hanya soal waktu saja sebab pelan-pelan nama-nama ini yang akan menggeser nama-nama populer yang selama ini kita telah kenal bertahun-tahun menghiasi beragam acara jazz.

Sudah barang tentu Jazz sebagai musik yang selalu terbuka, memiliki semangat revival yang membuatnya selalu relevan dengan beradaptasi pada gaya yang berkembang pada satu masa.

Seperti apa [musisi] Jazz rasa Millenials mu? tulis dikolom komentar dibawah ya

credit foto Esperanza Spalding http://etsy.me/EPBass

 

Agus Setiawan Basuni

Pernah meliput Montreux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Vancouver Jazz Festival, Chicago Blues Festival, Mosaic Music Festival Singapura, Hua Hin Jazz Festival Thailand, dan banyak festival lain diberbagai belahan dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker