News

Goresan Sketsa Indonesia oleh Dwiki Dharmawan

Liputan Konser “Sketches of Indonesia” di Usmar Ismail Hall, 29 September 2010

Ada yang berbeda pada  Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail Rabu malam lalu. Lorong menuju pintu masuk ruangan konser dipenuhi komodo. Namun bukan komodo betulan, melainkan dalam bentuk dua dimensi berupa poster ukuran besar – sebagai atribut kampanye “Vote Komodo” –  yang dewasa ini digiatkan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Republik Indonesia. Di koridor itu nampak sebuah gerai bertuliskan “Vote Komodo” yang dilengkapi komputer jinjing terhubung dengan internet, sehingga pengunjung dapat langsung mendaftar dan memberi dukungan pada Taman Nasional Komodo untuk menjadi salah satu dari tujuh keajaiban (alam) dunia (New 7 Wonders of Nature). Pemandangan tersebut kerap dijumpai pada gelaran acara yang menampilkan Dwiki Dharmawan, figur yang intens berkampanye soal komodo sejak tahun lalu.

Pertunjukan malam itu dimulai pukul setengah sembilan, di atas panggung tampak para pemain telah menempati posisi masing-masing. Dilihat dari bangku penonton, susunannya adalah grand piano di pojok kiri dan drum pada sisi kanan, mengapit perkusi, gitar, saksofon dan kontrabas. Penampilnya adalah Dwiki Dharmawan (piano, synthesizer, melodeon), Gerry Herb (drum), Dira J. Sugandi dan Ivan Nestorman (vokal) serta empat pemusik bule berseragam batik, Guy Strazz (gitar), Hugh Fraser (kontrabas), Andy Suzuki (saksofon tenor & alto, flute), dan Philippe Ciminato (perkusi). Repertoar pertama adalah instrumentalia atas “Paris Barantai”, lagu (berbahasa) daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Intronya dimainkan piano tunggal oleh Dwiki secara resitatif, sebelum tema utama (liriknya berbunyi, “kotabaru gunungnya ba’ mega, ba’ mega umbak manampur di sala karang…”) terdengar sinkopatik. Melodi berlaras minor asli itu kemudian diambil alih oleh tiupan saksofon tenor Andy bersama iringan pemain lain. Dwiki kembali beraksi pada nomor kedua, “Janger” asal Pulau Dewata.

Dwiki Dharmawan
Dwiki Dharmawan

Indonesia sejatinya adalah negara berbasis gugusan pulau, maka dari itu disebut juga dengan “Nusantara”. Selepas Kalimantan dan Bali, konser bertajuk Bahasa Inggris “Sketches of Indonesia” beralih ke Sulawesi dengan lagu khas Ujung Pandang “Anging Mamiri”. Tembang itu dilafalkan oleh Dira yang berjalan menuju panggung dari arah penonton, sementara musiknya sayup terdengar bossa. Vokal Dira yang empuk serta jelas artikulasinya terdengar nyaman di telinga, ia melanjutkan performa lewat nyanyian “Mai Fali e” (marilah pulang – red.) dari Rote, Nusa Tenggara Timur berirama samba. Laras slendro yang njawani turut pula disematkan Dwiki dalam aransemen “Lir-Ilir” bercampur nuansa Sunda lewat selipan melodi “Tokecang” secara kanonik.

Andy Suzuki
Andy Suzuki

Ada pula Ivan, sang empunya rambut gimbal ikut meramaikan acara. Dreadlocks sering diasosiasikan dengan reggae, tetapi malam itu Ivan hadir bukan untuk bernyanyi ala Bob Marley, melainkan tampil lewat lagu kampung halamannya (ia berasal dari kawasan Ruteng, Manggarai, NTT). Dirinya menjadi pusat perhatian waktu menampilkan “Ie”, “…lagu ini ceritanya tentang seekor burung yang punya suara merdu, namun hanya didengar oleh pohon-pohon, dia kesepian,” paparnya. Selain tarik suara, Ivan juga bisa main gitar sambil nyanyi, terlihat ketika ia membawakan “Benggong Banggong” dan “Kakorlalong” yang energik serta “ditemani” Dwiki pada melodeon (sejenis pianika) juga Phillipe lewat tepukan cajón.

Ivan Nestorman
Ivan Nestorman

Dira kembali naik panggung, kali ini ia bawakan tembang berjudul “Lamalera’s Dream”, gubahan Dwiki yang terilhami Lefa dan Ola Nue (perburuan ikan paus secara tradisonal masyarakat Lefa Lamalera – red.). Lain dengan kedua lagu sebelumnya yang ia nyanyikan santai, Dira nampak serius pada nomor ini. Sejalan dengan iringan musik yang monumental, suaranya bertenaga besar dan prima serta iapun mampu untuk mengekspresikan emosi atas lagu tersebut. Sempat tertangkap oleh kamera, saat air mata Dira berlinang di pipi kanannya.

Dira J. Sugandi
Dira J. Sugandi

Komposisi berikutnya adalah “Arafura” dengan awalan solo piano bergemuruh yang ditampilkan melalui teknik arpeggio naik-turun. Untuk menambah efek dramatis dilakukan sinkronisasi bunyi piano dengan gambar bergerak pada layar raksasa sebagai latar panggung, berupa citra kelautan lewat sinematografi bergaya aerial landscape yang melaju cepat. Jelas maksud bahwa komposisi ini menggambarkan pesona Laut Arafura dengan segala ritme alamnya.

Gerry Herb
Gerry Herb
Philippe Ciminato-Guy Strazz-Hugh Fraser
Philippe Ciminato-Guy Strazz-Hugh Fraser

Pelbagai elemen musik dunia terangkai pada nomor instrumental “Spirit of Peace”, sekaligus ajang unjuk kebolehan para pemain. Guy ambil bagian solo, menjentikkan jemari atas gitarnya dengan gaya flamenco serta ditimpali dentuman kontrabas Hugh. Aksi “adu pukul” teatrikal “drum vs. perkusi” oleh Gery dan Philippe membuat penonton tertawa pun kagum. Andy dan Dwiki meramaikan lewat aksen unison saksofon sopran dan piano. Usai komposisi tersebut dibawakan, audiens merespons dengan tepuk tangan semarak. Melihat tanggapan seperti itu, para penampil memberi bonus sebuah lagu encore “Dzikir (Tak Putus-putusnya)”, pada liriknya tersirat pesan agar manusia menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta melalui pelestarian alam. Tembang pamungkas bernuansa religi tersebut dinyanyikan oleh Dira. Konserpun gentas.

Thomas Y. Anggoro

Lulusan ISI Yogyakarta. Telah meliput festival di berbagai tempat di Indonesia dan Malaysia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker